RELEVANSI DAN REVITALISASI PANCASILA DALAM KONTEKS ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI PERJUANGAN NEGARA PASCA REFORMASI
RELEVANSI
DAN REVITALISASI PANCASILA DALAM KONTEKS ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI PERJUANGAN
NEGARA PASCA REFORMASI
Yoga Pradito Wibiyantoro |
Istilah
Pancasila sebagai weltanschauung dan dasar negara telah kita dengar untuk
pertama kali waktu Ir. Soekarno memberikan pidato sambutannya pada tanggal 1
Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) dan Isi hakikatnya tertuang dalam teks resmi Pembukaan UUD 1945. Dari
konteks Pembukaan UUD 1945 ini jelaslah bahwa fungsi dasar Pancasila ialah
sebagai dasar negara. Sesuai fungsi dengan rumusan yang tertulis secara
eksplisit dan berdasarkan pandangan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
Pancasila adalah dasar yang melandasi bangunan negara RI. Secara singkatnya
Pancasila adalah landasan Ideologis bagi negara RI. Disamping itu Pancasila
menunjukkan pula arti historis. Kalau kita menengok sejarah perjuagan bangsa
dalam mencapai kemerdekaannya. Perjuangan rakyat Indonesia sebagai bangsa
merupakan proses yang jelas terlihat dalam berdirinya perserikatan Budi Utomo
pada permulaan abad kedua puluh dan disusul dengan peristiwa-peristiwa historis
dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Perjuangan yang memperlihatkan
dinamika bangsa ini selanjutnya memberikan corak yang khas bagi Pancasila
sebagai pencerminan bangsa yang ingin mendambakan kemerdekaan dan kemandirian.
Demikian secara
kultural dasar-dasar pemikiran dan orientasi Pancasila pada hakikatnya bertumpu
pada budaya bangsa. Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya terdapat secara
fragmentaris dan sporadis dalam kebudayaan bangsa yang tersebar di seluruh
kepulauan Nusantara, baik pada abad-abad sebelumnya, maupun pada abad kedua
puluh, dimana masyarakat Indonesia telah mendapatkan kesempatan untuk
berkomunikasi dan berakultruasi dengan kebudayaan lain. Oleh karena Itu
Pancasila mencerminkan nilai-nilai budaya, baik tradisional maupun modern.
Adalah jasa para pelopor kemerdekaanlah, yang patut mendapatkan penghargaan
sepenuhnya. Bahwa mereka berhasil menggali dan merangkum secara tepat dan tajam
nilai-nilai dasar budaya masyarakat menjadi keseluruhan nilai ideologis yang utuh dan terpadu dengan memperhatikan
pengalaman hidup dan bahkan memanfaatkan pemikiran serta orientasi yang aktual
dalam perkembangan dunia Internasional.
Dilihat dari
segi politis, Pancasila merupakan hasil kompromi bangsa Indonesia yang serba
beranekaragaman itu, suatu konsensus nasional yang mampu menggalang dan
menjamin persatuan bangsa menuju terwujudnya cita-cita bersama yaitu masyarakat
adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Kelemahan bangsa Indonesia dalam
masa penjajahan ialah bahwa mereka dapat dipecah belah melalui politik divide
et impera dalam segala aspek kehidupannya. Penjajah dapat mempertahankan
dominasinya, karena mereka berhasil menciptakan ketimpangan dan
ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan
pendidikan diantara seluruh masyarakat, yang sangat mengurangi daya dan
kekuatan masyarakat. Disamping itu politik tersebut itu dipermudah dengan
karena keanekaragaman justru merupakan ciri eksistensi bangsa yang pada zaman
itu merupakan celah-celah kerawanannya. Oleh karena itu untuk mencapai
kemerdekaan menuju masyarakat yang adil dan makmur adalah mutlak, demikian
pandangan para pelopor kemerdekaan bangsa, bahwa bangsa Indonesia harus bersatu
dengan dilandasi kesadaran nasional yang kuat untuk mewujudkan cita-cita serta
kepentingan bersama, dengan mengesampingkan tuntutan dan kepentingan kelompok atau
perorangan, dan inti serta dasar orientasinya tertuang dalam Pancasila.[1]
Pada dasarnya
penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang bermayoritas beragama Islam (Muslim).
Sebenarnya masyarakat Muslim di Indonesia tidak pernah bertentangan atau menentang
Pancasila. Sebab, para peletak atau penyusun dasar Ideologi negara ini sebagian
besar berasal dari cendekiawan kaum muslim. Apabila dilihat bahwa terbentuknya
prinsip dasar filsafat negara asalnya atau rohnya ideologi Pancasila adalah
Piagam Jakarta. Sebenarnya piagam ini merupakan piagam yang menfasilitasi keinginan
umat Islam yang selalu berpegang teguh pada syariah Islam, bahkan sebetulnya ia
juga sudah menfasilitasi berbagai kepentingan umat-umat lainnya di Indonesia.
Namun pasca reformasi, Pancasila sekarang banyak disalahkan artikan oleh
orang-orang Islam bahwa Pancasila sudah tidak layak untuk dijadikan dasar
ideologi negara sehingga Pancasila tidak bisa lagi menjadi alat pemersatu
bangsa terutama untuk kalangan umat Islam. Hal ini bisa terjadi karena dibuktikan
dalam sejarah negara Indonesia yang dimulai Orde Lama yang dipimpin oleh Ir.
Soekarno dalam pemerintahan demokrasi terpimpin ternyata Soekarno tidak bisa
menjalankan UUD 1945 secara benar dan banyak sekali disalahgunakan oleh Ir. Soekarno
sebagai pemimpin. Hal itu terjadi dibuktikan dalam sejarah Pelaksanaan
Pancasila selama ini, yang dalam kenyataannya tidak mendasarkan pada
interpretasi pelaksanaan Pancasila sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD
1945, yang menjelaskan UUD harus mengandung isi yang mewajibkan kepada
pemerintah dan penyelenggara nagara untuk memegang cita-cita rakyat yang luhur.
Pada masa itu Ir. Soekarno menerapkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Islam dan
Komunisme) dan demokrasi terpimpinnya, maka dalam pengertian hal ini para
penyelenggara negara tidak mendasarkan pada dasar moral yang luhur bahkan tidak
mendasarkan pada wajib hukum kenegaraan.[2]
Sedangkan pada masa Orde Baru yang dipimpin Soeharto, Pancasila hanya dijadikan
alat legitimasi politik melanggengkan kekuasaan pada saat rezim tersebut. Dimana
pada masa itu Presiden Soeharto menetapkan UU No. 3 tahun 1985 Tentang Partai
Politik dan No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat yang pada akhirnya
ditentang banyak oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat terutama oleh
pergerakan organisasi masyarakat Islam pada saat itu. Demikian pula dibuktikan
pada masa Orde Baru pada penyelenggaraan negara tidak mendasarkan pada
cita-cita moral rakyat yang luhur, pelaksanaan penyelenggaraan negara dipenuhi
dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) serta dengan mengfungsikan simbolis
Ideologi Pancasila sebagai alat legitimasi politik untuk mempertahankan
penguasa, sehingga rakyat banyak yang menderita, sedangkan pejabat negara
berlomba menimbun kekayaan walaupun seakan-akan memenuhi wajib hukum.[3]
Pada massa pemerintah Orde Baru bisa dikatakan sistem pemerintahan yang penuh
kediktatoran, KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dan militeristik. Hal ini
juga menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami perasaan trauma terhadap Ideologi
negara Pancasila terutama untuk masyarakat Indonesia bermayoritas Muslim karena
pelaksanaan Pancasila banyak mengalami ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam
membangun kemajuan pembangunan nasional.
Dengan adanya
kebijakan kebebasan organisasi dan pers serta penghapus asas tunggal hal ini
memberikan kesempatan pada Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam untuk lebih
berkembang yang selama masa Orde baru pergerakan Organisasi Masyarakat (Ormas)
Islam sangat dikekang oleh rezim tersebut. Maka era reformasi yang dimulailah
dari kepemimpinan Habibie juga ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi
Islam radikal di Indonesia. Banyak organisasi radikal Islam yang tumbuh
memanfaatkan peluang kebijakan rezim ini yang memberikan kesempatan luas bagi
masyarakat untuk mendirikan organisasi, baik berbasis sentimen keagamaan,
etnis, profesi, maupun hobi. Organisasi radikal Islam menjadi tantangan yang
serius bagi transisi demokrasi di Indonesia. Meskipun keberadaan organisasi
radikal ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi dan mereka berhak
memanfaatkan proses demokrasi, namun organisasi-organisasi ini banyak digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Tujuan tidak demokratis itu
misalnya keinginan untuk mendirikan negara Islam, pemaksaaan pendapat dan paham
keagamaannya, intimidasi terhadap kelompok lain, atau keinginan untuk
mendirikan khilafah Islamiyah serta tidak mengakui negara yang sah.
Kelompok-kelompok yang dikategorikan gerakan Islam radikal ini di antaranya
adalah: FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad, Front Hizbullah, Jama’ah al-Ikhwan
al-Muslimin Indonesia, dan sebagainya. [4]
dari munculnya organisasi-organisasi ini karena Ideologi negara Pancasila itu
sudah dilayak dijadikan pedoman dalam proses penyelenggaraan negara dalam
menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia karena sejarah sudah membuktikan. Oleh
karena itu, organisasi-organisasi Islam ini menginginkan adanya penerapan
sistem politik (Siasah) di Indonesia harus berdasarkan syariah Islam bukan
Pancasila. Secara singkatnya organisasi masyarakat Islam radikal ini sangat
anti terhadap Ideologi negara Pancasila.
Hal
ini sangat disayangkan padahal Pancasila yang merupakan hasil jerih payah
pendiri bangsa Indonesia dalam membangun bangsa ini dari belenggu penjajahan.
Proses perumusan Pancasila pada saat itupun banyak melibatkan perjuangan kalangan
cendekiawan Muslim dalam membangun konsensus kesadaran nasional sebagai
identitas jati diri dan alat pemersatu bangsa. Adalah menarik untuk menelaah
pesan-pesan dari Prof. Kasman Singodimejo, seorang Intelektual Muslim, tokoh
Muhammadiyah, panglima perang mujahid yang kenyang keluar masuk penjara zaman
Belanda dan Orde Lama. Dari ruangan tahanan penjara rezim Orde Lama, Kasman Singodimejo
pernah menuliskan pesan perjuangannya :
“Seorang Muslim harus terus berjuang terus, betapaun keadaannya lebih sulit
daripada sebelumnya. Adapun kesulitan-kesulitan itu tidak membebaskan seorang
muslim untuk berjuang terus, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada
waktu lampau, dengan strategi tertentu, dan taktik yang lebih tepat dan sesuai.
Pengalaman-pengalaman yang telah dialami hendaknya menjadi pelajaran yang akan
memberi hikmah dan manfaat kepadanya. Tidak usah seorang Muslim berkecil hati.
Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau itu tlah gagal, hanya memang
belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan tengku Umar, Imam Bonjol,
Diponegoro, HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan lainnya itupun tidak gagal,
hanya belum sampai tujuannya. Oleh sebab itu, Muslimin yang masih hidup
sekarang ini harus meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak
kepada keadaan (situasi) dan fakta-fakta yang kini ada, dengan gaya atau
semangat baru, setidak-tidaknya “to make the best of it,” menuju kepada
baldatun “tayiba-tun wa rabbun gafur,”
yakni suatu negara yang diampuni dan diridhai Allah : Adil, makmur, aman,
sentausa, tertib, teratur, bahagia, damai.[5]
Sebagai
sebuah agama dan peradaban sekaligus Islam telah mengalami sejarah yang panjang.
Paradaban Islam mengalami pasang, yang harusnya menjadi bahan pelajaran bagi
umat Islam. Meluruskan Pancasila dan kisah para tokoh Islam yang terlibat dalam
perumusannya juga hal yang penting. Tetapi, yang lebih penting adalah”
realitas” di lapangan; yang penting adalah kerja keras. Perjuangan Islam bukan
hanya berhenti sampai pada rumusan-rumusan konstitusi dan undang-undang, tetapi
harus dilanjutkan dengan usaha dan kerja
keras dalam menunjukkan kemampuan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Tidak
banyak manfaatnya, jika para tokoh Islam terus berteriak tentang keindahan
syariat Islam, sementara lembaga-lembaga dakwah Islam sendiri tidak berani
menegakkan syariat untuk dirinya sendiri. Tidak banyak manfaatnya memaparkan
keindahan konsep adil dan adab dalam Islam, sementara para tokoh dan
lembaga-lembaga Islam sendiri tidak memberikan contoh, bagaimana menegakkan
keadilan dan keberadaban dalam dirinya sendiri. Konsep dan peraturan jelas
penting, tetapi realitas juga jangan sampai dilupakan. Prof. Kasman
Singodimejo, dalam pesan-pesannya dari penjara pun menekankan pentingnya umat
Islam tidak mudah menyalahkan yang lain jika Islam belum tegak secara maksimal di bumi Indonesia.[6]
Menurut Dr. Majid Irsan Al-Kilani, dalam
melakukan perubahan umat yang mendasar, Al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya
mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Menurut Al-Ghazali,
masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim yang
berkaitan tentang aqidah dan kemasyarakatan. Al Ghazali lebih menfokuskan
usahanya untuk membersihkan masyarakat Muslim dari berbagai penyakit yang
menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapakan muslim agar mampu
mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok
bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dan Kokoh.[7]
Inilah sebenarnya suatu strategi kebudayaan atau strategi peradaban dalam
membangun satu generasi baru yang tangguh. Bangkitnya kaum Muslim bukan
kebangkitan seorang Shalahuddin tetapi kebangkitan satu generasi Shalahuddin,.
Satu generasi yang tangguh secara aqidah, mencintai dan memuliakan Ilmu, kuat
dalam beribadah, dan zuhud. Generasi inilah yang mampu membuat dan membalikkan
sejarah baru dalam Islam. Dari generasi yang begitu lemah dan kalah menjadi
generasi yang kuat dan tangguh serta disegani masyarakatnya.
Era kejayaan
Islam dan kekuatan sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi kombinasi
dua unsur yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta unsur ketepatan
dalam pemikiran dan perbuatan.[8]
Jika strategi Ini direfleksikan dalam perjuagan umat Islam Indonesia, maka
sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan intropeksi terhadap kondisi
pemikirin dan moralitas internal mereka, terutama para elite dan lembaga-lembaga
perjuangan. Sikap kritis terhadap pemikiran-pemikiran asing yang merusak tetap
perlu dilakukan, sebagaimana yang dilakukan Al-Ghazali. Jadi dalam membangun
satu bangsa mandiri, bangsa yang besar
dimasa yang akan datang, bangsa Indonesia, tugas umat Islam bukan hanya
menunggu datnganya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat
Islam dituntut kerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan
melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas seperti Shalahuddin Al-Ayyubi. Dan ini
tidak akan terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia terutama lembaga-lembaga
dakwah dan pendidikan amat sangat serius untuk membenahi konsep Ilmu dan para
ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapakan lahir satu generasi baru
yang tangguh (khaira ummah) berilmu tinggi dan akhlaq mulia, yang mampu membuat
sejarah baru dan membawa bangsa Indonesia, bangsa Muslim terbesar di dunia
sebgai bangsa besar, bangsa yang gemilang, yang tidak hobi lagi meminta belas
kasihan kepada bangsa lain.[9]
Tentu Inilah cita-cita
dari kemerdekaan negara ini sebagaimana Pancasila yang merupakan roh filosofis
dari Piagam Jakarta dan tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Tidaklah salah jika
umat Islam meyakini, bahwa dengan Islamlah, cita-cita luhur bangsa Indonesia
bisa dicapai, sebagaimana perjuangan para pendiri bangsa kita. Perjuangan
Muslim menegakkan kebenaran dan keadilan ditengah masyarakat merupakan bagian
perjuangan dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu negeri yang Adil dan
Makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Karena para Muslim pendiri bangsa kita
sudah menggariskan tujuannya untuk mencapai kejayaan peradaban umat Islam dan
kemajuan kemandirian bangsa Indonesia. Jadi tidaklah keliru, umat Islam
meyakini akan kebenaran agamanya, bahkan wajib. Keyakinan adalah modal dasar
untuk mengantarkan kepada perubahan besar. Tanpa keyakinan akan suatu
kebenaran, suatu bangsa, umat, atau peradaban akan musnah ditelan zaman dan
akan menjadi budak bagi peradaban lain.[10]
Dalam bukunya Islam at the Crossroads yang menyebutkan, bahwa tidak ada suatu
peradaban yang akan berkembang atau bahkan bisa eksis, jika kehilangan
kebanggaan terhadap peradabannya dan terputus dari sejarahnya sendiri.[11]
Maka selayaknya kita
sebagai para generasi Muslim Indonesia yang masih hidup sekarang ini, harus tetap
bersemangat dalam meneruskan perjuangan Islam di muka bumi Indonesia
sebagaimana yang telah dilakukan para pejuang Muslim pendahulu kita. Karena kita
sebagai pejuang Muslim tidak pernah mengenal namanya sebuah kegagalan dalam
perjuangan, walaupun pernah mengalami kegagalan, itu hanya memang belum sampai pada
maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, mereka yang menjadi Intelektual Muslim yang
tangguh secara akidah, selalu mencintai dan memuliakan ilmu, kuat dalam ibadah,
selalu berpegah teguh pada syariahnya, dan mampu mengemban risalah Islam.
Penegakkan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam ini juga sudah menjadi bagian
dalam proses memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan di
muka bumi Indonesia. Hal ini sudah menunjukkan bahwa Intelektual Muslim
tersebut juga sudah mengimplementasikan ideologi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
[1] J.
Soerjanto Poespowardojo, 1991, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.4-6.
[2] Kaelan.,
2002, Filsafat Pancasila Pandangan
Hidup Bangsa Indonesia, Jakarta: PT. Paradigma, hlm.254.
[3] Kaelan., 2002, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Jakarta: PT. Paradigma,
hlm.254-255.
[4]Bahtiar Effendy, ‘Political
Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam and the State in Indonesia, Ohio & Singapore: Ohio
University Press and ISEAS, 2003. Untuk pembahasan yang bagus mengenai gerakan
radikal ini, lihat M Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia:
Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.
[6]Adian Husaini.,2009, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam, Jakarta: PT. Gema Insani, hlm.237-238.
[7] Al-Kilani,
Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenagan Perang Salib, hlm.78-79. Dalam
bukunya, Al-Kilani mengutip Ibn Katsir dalam Bidayah wal-Nihayah.
[9] Adian
Husaini.,2009, Pancasila Bukan
untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: PT. Gema Insani,
hlm.242-243.
[10] Adian
Husaini.,2009, Pancasila Bukan
untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: PT. Gema Insani,
hlm.244.
Komentar
Posting Komentar