TANTANGAN PARTAI POLITIK
ISLAM INDONESIA
DALAM
MENGHADAPI REALITAS DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA
Yoga Pradito Wibiyantoro |
Dewasa Ini, Relasi
Islam dan politik kaum Muslim di Indonesia senantiasa menarik. Hal ini karena
selain umat Islam menjadi penduduk mayoritas di negeri ini, Islam juga menjadi
faktor yang menentukan dalam setiap perubahan sosial, politik, budaya, dan
keagamaan bangsa ini. Yang juga berbeda dengan kondisi politik umat Islam di
negara lain, pemahaman keagamaan, identitas politik, serta aspirasi umat Islam
di Indonesia dari waktu ke waktu tidak bersifat homogen, namun bersifat
heterogen. Posisi umat Islam yang strategis dan signifikan itu, menjadikan
banyak kekuatan sosial dan politik berlomba-lomba mendekati dan berusaha secara
serius agar meraih dukungan sosial dan politiknya.[1]
Terbentuknya Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak lepas juga dari
perjuangan kaum Muslimin Indonesia, sebagaimana pendiri bangsa (fouding father)
kita yang telah memperjuangkan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia.
Perjalanan politik Indonesia dari masa ke masa tidak pernah bisa
dilepaskan dari peran politik yang dimainkan oleh umat Islam, dalam sejarahnya
umat Islam Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi arah pembangunan
politik dan demokrasi. Turut sertanya umat Islam dalam kehidupan politik telah
menjadikan panggung politik nasional bergerak cukup dinamis.
Menurut Dr. Zuly Qodir, membicarakan relasi umat
Islam dengan politik memiliki posisi yang sangat strategis, mengingat penduduk
Indonesia dari total 237 juta jiwa sebesar 86,7 % mayoritas beragama Islam,
maka secara politik dan sosiologis fakta tersebut sangat penting untuk
diperhatikan, serta menjadi sesuatu yang relevan sebagai objek kajian. Relasi
umat Islam dengan politik merupakan sebuah konsekuensi logis dari diterapkannya
sistem demokrasi di republik ini, meskipun sikap umat Islam dalam memandang
hubungan Islam dengan politik (demokrasi) tersebut tidak seragam. Umumnya
terdapat tiga varian besar pandangan umat Islam mengenai relasi Islam dengan
politik.[2]
Mengutip Munawir Sjadzali, ada tiga aliran besar
melihat peta hubungan antara Islam dengan politik (demokrasi). Pertama,
Islam formalis, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama
dalam pengertian barat, yakni menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan,
sebaliknya Islam merupakan agama yang sempurna (syamil) dengan
pengaturan segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Aliran
Islam ini memiliki keyakinan, bahwa Islam memiliki seperangkat sistem politik (siyasah)
tersendiri yang berbeda dengan demokrasi (barat), dari pemahaman keberagamaan
tersebut, aliran Islam ini memperjuangkan formalisme agama Islam menjadi dasar
dalam bernegara. Kedua, Islam liberal, aliran yang berpandangan bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian barat yang tidak memiliki seperangkat
konsep kenegaraan, Islam ditempatkan sebatas agama yang hanya mengatur aspek
spiritual setiap penganutnya, aliran ini menyakini bahwa Islam tidak boleh ikut
campur tangan mengurusi masalah kenegaraan. Aliran ini menolak formalisme Islam
ke dalam kehidupan kenegaraan. Ketiga, Islam subtansi, aliran yang
menolak pandangan Islam agama serba lengkap, juga menolak Islam tidak memiliki
nilai etik politik kenegaraan, aliran terakhir ini menjadi sintesis dari kedua
aliran sebelumnya, mereka yang menganut aliran ketiga ini memiliki pandangan
bahwa Islam menyediakan pandangan-pandangan etis bagi pengaturan masyarakat dan
negara, tetapi yang menarik aliran ini menolak formalisme Islam, cukup
nilai-nilai subtansi Islam tentang keadilan, kesejahteraan dan demokrasi
menjadi perioritas utama dalam bernegara.[3]
Diskusi tentang partai Islam hari ini tentu tidak
bisa dipisahkan dengan perkembangan politik umat Islam di Indonesia terutama
pasca reformasi. Turunnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan harapan baru bagi
umat Islam Indonesia untuk bisa memperoleh ruang politik yang lebih besar. Pada
era Habibie yang menggantikan Soeharto, umat Islam berusaha memaksimalkan
kondisi sosial politik yang ada. Pada saat yang bersamaan, Habibie mengeluarkan
kebijakan-kebijakan politik yang mendukung proses transisi menuju demokrasi di
Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, Habibie memberikan kontribusi yang
signifikan untuk liberalisasi politik. Hal itu tampak pada kebijakannya untuk
memberikan kebebasan pada para tahanan politik, mengatur kebebasan pers,
menghapus kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, dan mengakhiri
pembatasan jumlah partai politik.[4]
Dengan banyak berdirinya partai politik Islam di era reformasi,
menjadikan panggung politik Indonesia semakin dinamis, pembicaraan relasi
Islam-negara akan semakin menarik, terlebih iklim kebebasan politik era
reformasi, memberi peluang seluas-luasnya kembalinya aspirasi Islam politik
dalam menerapkan Islam sebagai dasar negara. Dari sinilah aliran Islam formalis
menemukan kembali momentum eksistensinya, yang selama tiga puluh tahun orde
baru berkuasa peran politik mereka termarginalkan, karena ketika itu, Presiden
Seoharto lebih merangkul kalangan Islam yang moderat dan akomodatif terhadap
kebijakan politik pembangunannya.
Namun sekarang setelah pasca reformasi partai
politik islam sudah mulai mengalami kemunduran terutama dalam mengikuti pemilu
dimulai awal tahun 2004, 2009 dan menjelang pemilu 2014. Sekarang pun
elektabilitas dan popularitas tokoh-tokoh dari partai politik islam dimata
masyarakat Indonesia semakin berkurang. Masyarakat Indonesia sekarang lebih
condong memilih kalangan tokoh-tokoh dari partai nasionalis. Salah satu alasan kekalahan tersebut adalah
terdapat lebih dari 46,1 persen responden yang menilai apabila menang dan
memimpin, partai Islam akan menerapkan hukum syariah. Sekitar 230 juta atau sekitar 85 persen dari total
penduduk Indonesia beragama Islam, jumlah yang lebih besar dari total penduduk
Islam di kawasan Timur Tengah. Hasil penelitian ini menarik dikaji karena
indikasi lemahnya partai Islam justru terjadi di tengah masyarakat yang
mayoritas beragama Islam. Bahkan pandangan “negatif” terhadap partai Islam
datang dari sebagian umat Islam sendiri.[5]
Secara umum, ada dua faktor yang menyebabkan
kemunduran partai Islam tersebut, baik internal maupun eksternal. Dalam aspek
internal, beberapa hal yang menghalangi partai Islam untuk menang dalam pemilu
di Indonesia, di antaranya: Pertama,
berkaitan dengan karakter pemahaman Islam di Indonesia. Selama ini Islam lebih
banyak dimaknai dalam artian ritual dibandingkan dengan pelibatan agama dalam
semua dimensi kehidupan. Jika dihubungkan dengan pendapat Peter Mandavelle,
maka penurunan dukungan terhadap partai Islam di Indonesia bisa dimaklumi.
Dalam bukunya, ia berargumen bahwa meskipun di negara mayoritas Islam akan
relevan dalam kehidupan politik mereka. Lebih lanjut, ia menggambarkan beberapa
kondisi yang berkaitan dengan politik Islam, antara lain pemahaman teologi yang
tekstual, atau kooptasi kekuasaan terhadap agama dan pengalaman sekuler dari
kehidupan seseorang yang seringkali membuat jauhnya agama dari politik.[6]
Kedua,
kemunduran
dukungan terhadap partai Islam disebabkan perpecahan yang terjadi di antara
umat Islam sendiri. Clifford Geertz menggambarkan perpecahan ini dengan membagi
kelompok Islam Indonesia menjadi kelompok abangan, priyayi, dan santri.[7]
Bahkan dalam artian politik, Zachary Abusa mengklasifikasikan gerakan Islam di
Indonesia menjadi beberapa jenis, seperti gerakan khalifah, pendirian negara
Islam, dan kelompok pluralis demokrasi.[8]
Ketiga, ketidakmampuan
partai-partai Islam untuk menyelesaikan persoalan riil yang terjadi di tengah
masyarakat, seperti isu kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Walaupun
partai-partai sekuler kondisinya hampir sama tetapi mereka mampu menampilkan
diri dengan lebih menarik. Dalam konteks ini, partai Islam di Indonesia belum
mampu menyaingi partai-partai sekuler dalam hal menjual platform partai.[9]
Secara sederhana kelompok tersebut terbagi menjadi
dua golongan, yaitu kelompok pro demokrasi dan anti demokrasi Kelompok yang
mendukung demokrasi adalah mereka yang tergabung dalam partai-partai Islam
seperti PKS, PPP, PBB, PBR, PAN dan PKB. Sementara kelompok yang menentang
demokrasi meliputi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Salafi, dan Hizbut
Tahrir.[10]
Ketiga, ketidakmampuan
partai-partai Islam untuk menyelesaikan persoalan riil yang terjadi di tengah
masyarakat, seperti isu kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Walaupun
partai-partai sekuler kondisinya hampir sama tetapi mereka mampu menampilkan
diri dengan lebih menarik. Dalam konteks ini, partai Islam di Indonesia belum
mampu menyaingi partai-partai sekuler dalam hal menjual platform partai.[11]
Selain itu, berbagai faktor eksternal juga memberikan peran dalam
penurunan dukungan terhadap partai Islam, di antaranya adalah: Pertama, opini publik yang dibangun
oleh media massa ternyata kurang menguntungkan partai Islam. Berbagai opini
tersebut membuat gerakan Islam mendapatkan image tidak begitu baik di
tengah masyarakat. Berbagai kelompok Islam identik dengan tindak kekerasan,
terorisme, dan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri di tengah perkembangan
zaman. Kedua, sistem pendidikan dan sejarah politik Indonesia yang
cenderung sekuler. Sejauh ini, pendidikan Indonesia tidak terlalu banyak
memberikan perhatian dalam persoalan keagamaan. Indonesia sudah merasa mapan
dengan Pancasila, yang dinilai mampu menyatukan semua golongan dan agama.
Seharusnya Partai Islam hendaknya mampu menyikapi
keterbukaan ideologi partai Islam ini merupakan sesuatu yang realistis, menurut
Bima Arya, bahwa partai-partai Islam untuk meningkatkan performa elektoral
sangat ditentukan kemampuannya dalam merekonstruksi diri ditengah-tengah
realitas psikis bangsa ini. Partai Islam harus mengedepankan agenda-agenda
kongkrit langsung bersinggungan dengan kepentingan publik ketimbang mengusung
wacana-wacana ideologis seperti formalisme syariat agama, partai Islam tidak
punya pilihan lain kecuali bergerak di isu-isu kongkrit seperti kesejahteraan,
penegakan hukum dan anti korupsi. Partai Islam memiliki modal strategis untuk
meraih kepercayaan publik, karena memiliki otoritas moral dan legitimasi
religius yang tidak dimiliki partai-partai nasionalis.[12]
Terlepas partai politik Islam berada pada kekuasaan atau oposisi, partai
politik islam seharusnya harus mampu menjadi tempat mediasi dan negosiasi bagi
masyarakat Indonesia dalam mengatasi permasalahan-permasalahan bangsa dan
negara ini. Program-program dijalankan partai politik Islam harus ditunjukkan
secara konkrit dan nyata dimana masyarakat Indonesia sekarng tingkat kemiskinan
dan penganggurannya masih tinggi.
Partai politik Islam
dalam menampilkan sesuatu harus menunjukkan dirinya sebagai partai solutif
ditengah muaknya masyarakat Indonesia terhadap tingkah partai-partai korup. Hal
itu lebih realistis daripada hanya berkutat isu-isu yang kental dengan simbolis
Islam sehingga masyarakat Indonesia begitu majemuk akan keanekaragaman budaya
dan agama bisa lebih mengapresiasi keberadaan partai politik Islam di
Indonesia.
Para
politisi Partai Islam ke depan, seyogyanya juga bisa tampil sebagai
“Muslim Democracy” sebagaimana dikonsepkan oleh Vali Nasr. Menurut
Vali Nasr, “Muslim Demokrasi”
adalah seorang politisi Muslim yang bisa melihat politik dengan
kacamata yang pragmatis untuk kepentingan kestabilan negara guna melayani
kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Mereka tidak lagi
mendefinisikan syariat Islam secara rigid, dan tidak juga berperilaku seperti
kaum Islamis yang melihat demokrasi sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan
dalam membangun sebuah negara Islam atau sistem Islam.[13]
Hal
ini menjelaskan Sejarah panjang dan problem perjalanan partai politik Islam
dalam mengikuti dinamika demokrasi di Indonesia dari waktu ke waktu. Terlihat
keberadaan posisi partai politik Islam dalam dinamika demokrasi di Indonesia
tidak mudah. Partai politik Islam dihadapkan pada berbagai realita yang tidak
hanya menuntut wacana tapi juga harus ada aksi nyatanya. Yang dibutuhkan
sekarang ini adalah, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Walaupun negara Indonesia bukan negara Islam paling tidak partai
Islam bisa melebarkan sayapnya dengan melakukan terobosan-terobosan baru dimana
program-programnya pro rakyat dan tanggap terhadap perkembangan isu-isu
nasional yang sedang berkembang.
Program-program yang dijalankan partai politik Islam
seharusnya mampu mengakar dikalangan masyarakat lokal dan masyarakat kelas
bawah sampai akar rumputnya yang masih membutuhkan bantuan kesejahteraan. Hal
itu tentu lebih konkrit dan realistis dijalankan oleh partai politik Islam.
Partai politik Islam juga harus tahu dalam memposisikan dirinya dalam persoalan
kebangsaan dan menjawab tantangan kebangsaan dan era globalisasi.
Partai Politik Islam akan sangat disegani apabila
memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai Islam dalam membangun peradaban
bangsa Indonesia. Sungguh begitu luar biasanya sejarah partai politik Islam
dalam membangun bangsa Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia akan melakukan
dukungan pada partai politik Islam jika benar-benar menunjukkan implementasi
nilai-nilai Islam dalam aksi nyatanya dengan ditapak tilasi dengan sistem,
manajemen dan komitmen moral kuat.
[1]Ahmad Fuad Fanani &
Muhd. Abdullah Darraz,Jurnal
Maarif Institute, Vol.8, No.2 – Desember 2013 ISSN : 1907-8161, hlm.4
[2]Zuly Qodir, Sosiologi Politik Islam : Kontestasi
Islam Politik dan Demokrasi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012)
hlm.151
[3] Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi : Pemikiran
Nurcholia Madjid. (Jakarta : Penerbit Republika, 2004) hlm.73.
[4]Azyumardi
Azra, ‘Political Islam in Post-Soeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan Amin
Saikal (editors), IslamicPerspectives on the New Millenium, Singapore:
ISEAS, 2004, hlm.140-141.
[5] Gonda Yumitro,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 ISSN
1410-4946, hlm.36
[7] Leo Suryadinata,
(2002). Election and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of
South East Asian Studies. hlm.6
[9] Vali Nasr,
(2005), The Rise of Muslim Democracy. Journal of Democracy Volume 16, Number
2 April 2005,hlm.17
[10] Kunkler, Mirjam
& Stepan, Alpred. (2013). Democratization and Islam in Indonesia.
USA: Columbia University Press.hlm. 122-123
[11] Vali Nasr,
(2005), The Rise of Muslim Democracy. Journal of Democracy Volume 16, Number
2 April 2005,hlm.17
[12] Bima
Arya, Re-Kontekstualiisasi Partai-Partai Islam dalam Bima Arya, Anti
Partai (Depok : Gramata Publishing, 2010), hlm.35.
[13] Vali
Nasr, “The Rise of “Muslim Democracy”, Journal of Democracy, Volume 16,
Number 2, April 2005, hal. 13-15.
Komentar
Posting Komentar