Langsung ke konten utama

PENGARUH KONGLOMERASI MEDIA MASSA TERHADAP INDEPENDENSI MEDIA MASSA




ARTIKEL

PENGARUH KONGLOMERASI MEDIA MASSA TERHADAP INDEPENDENSI MEDIA MASSA

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti
PELATIHAN JURNALISLTIK TINGKAT NASIONAL
LAPMI HMI CABANG CIPUTAT



Disusun Oleh :

YOGA PRADITO WIBIYANTORO



HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM ( HMI )
KOMISARIAT AHMAD DAHLAN 1
CABANG SUKOHARJO
2015
 


PENGARUH KONGLOMERASI MEDIA MASSA TERHADAP INDEPENDENSI MEDIA MASSA

Yoga Pradito Wibiyantoro
Dewasa ini, jika kita berbicara komunikasi massa, maka kitapun akan membicarakan media massa apa yang digunakan atau dimanfaatkan dalam menyampaikan isi pesan baik itu berupa informasi, pendapat, fakta dan lain-lainnya kepada khalayaknya. Media massa sebagai sarana komunikasi massa, sangat efektif untuk dapat menyampaikan informasi kepada khalayak umum dengan jangkauan yang sangat luas. Dalam komunikasi tersebut yang harus kita pahami dan garis bawahi adalah dampak dari terpaan media-media tersebut kepada khalayaknya. Sering dengan berkembangnya zaman, kebutuhan manusia akan informasi semakin besar. Manusia saat ini terlihat lebih cerdas dalam memilih media mana yang mau ia gunakan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasannya dalam memperoleh informasi maupun hiburan.
Media massa sekarang kini telah masuk dalam arus globalisasi yang mana media massa bersifat universal dan tiada mengenal batas wilayah dan hukum suatu negara. Jenis dan fungsinya juga semakin canggih sehubungan dengan perkembangan arus modenisasi dan tekhnologi pada masa kini. Media sebaran sudah dianggap sesuatu yang lazim yang selaras dengan kemajuan masyarakat manusia modern. (Sparks, 2000, Chan, 2001)[1]
Media massa dapat diklasifikasikan kepada dua kategori yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak terdiri daripada sumber bertulis seperti surat kabar, majalah, buku dan bahan percetakan yang lain, sedangkan media elektronik pula terdiri daripada televisi, radio,internet blog, telefon seluler dan sebagainya. Salah satu bentuk media massa yang paling dominan sekaligus memiliki kekhasan, adalah media penyiaran, khususnya televisi. Penyiaran menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi yang jumlahnya terbatas, sehingga diperlakukan secara berbeda dengan media cetak. Penyiaran senantiasa sarat dengan aturan highly regulated, baik infrastruktur maupun isinya. (McQuail, 2002: 207)[2]
Sistem komunikasi publik adalah bagian dari “industri kultural”. Industri media sangat berbeda dengan industri lainnya. Pada satu sisi, terdapat suatu bentuk area produksi yang luas yang terintegrasi dengan struktur industri umum. Media merupakan salah satu elemen dari konfigurasi yang lebih besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar, dan civil society. (McQuail, 2010:245)[3] Media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu, tetapi media juga harus dilihat dari wujud kepentingan sendiri.
Media merupakan suatu alat yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh suatu informasi tertentu. Media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di dalamnya, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Setidaknya ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Diantara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai “Ruang Publik” (Public Sphere), disebabkan oleh kepentingan-kepentingan diatas justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri, dan ruang publik tersebut akhirnya banyak tereduksi oleh acara hiburan melalui media massa.
Seharusnya Media Massa sebagai “Ruang Publik” (Public Sphere) bisa menjadi ruang mediasi antara masyarakat dan negara di mana publik mengatur dan mengorganisirnya sendiri sebagai pemilik opini publik. (Craigh Calhoun, 1993)[4] Dengan demikian, berbicara mengenai ruang publik di media massa berarti membicarakan otoritas individu atau warga negara sebagai pengguna dan pemanfaatan media yang memiliki otonomi, sehingga dalam ruang publik tersebut setiap anggota masyarakat dari berbagai latar belakang yang berbeda sebagai warga negara yang posisinya setara (memiliki hak dan kebebasan yang sama) melakukan diskursus tanpa mengalami kendala struktural. Media massa dalam konteks ini memiliki fungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum dapat diperdebatkan. (Hidayat, 2001)[5]
Karena menurut Habermas, dalam ruang publik "private persons" bergabung untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi perhatian publik atau kepentingan bersama. Ruang publik ini ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara dengan memegang tanggung jawab negara pada masyarakat melalui publisitas. Tanggung jawab negara mensyaratkan bahwa informasi-informasi mengenai fungsi negara dibuat agar bisa diakses sehingga aktifitas-aktifitas negara menjadi subyek untuk dikritisi dan mendorong opini publik. Pada tahap ini, ruang publik dirancang untuk sebuah mekanisme institusi untuk merasionalisasikan dominasi politik dengan memberikan tanggung jawab negara pada warga negara.
Sedangkan publisitas diartikan sebagai penyampaian hal-hal yang termasuk dalam "kepentingan umum" pada negara melalui bentuk-bentuk yang secara sah menjamin kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan berserikat. Pada tahap ini, ruang publik dirancang untuk jenis interaksi diskursif yang spesifik. Di sini ruang publik dikonotasikan sebagai tempat untuk diskusi mengenai hal-hal rasional yang tak terbatas mengenai hal-hal yang bersifat umum. Hasil dari diskusi merupakan opini publik yang menjadi konsensus mengenai kebaikan bersama.(Craigh Calhoun, 1993)[6]
Meski media massa memperoleh kebebasan dan ruang gerak yang lebih besar setelah tumbang rezim Orde Baru tetapi dibalik itu semua, ada keunikannya karena sistem politik Indonesia berada dalam pusaran globalisasi. Kehidupan industri media sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya semangat kapitalisme. Munculnya konglomerasi media, satu perusahaan besar menaungi beberapa media sekaligus seperti misalnya MNC, Metro tv, Tv One dll merupakan salah satu sebagai aktivitas pemusatan modal dalam industri media. Ini bukti, bisnis media bukanlah bisnis biasa. Semangat kapitalis tidak hanya bergerak pada ranah pemerintah dan perusahaan saja tetapi saat ini sudah masuk kedalam kehidupan media massa.  
Dilihat dari sudut pandang ekonomi-politik media, kondisi media kontemporer ditandai dengan meluasnya konsentrasi dan konglomerasi media. Perluasan atas konsentrasi dan konglomerasi media ini juga pararel dengan konvergensi media. Di satu sisi tumbuh media dalam berbagai lini yang berbeda, namun di sisi yang lain, kepemilikan dari media semakin memusat pada segelintir orang saja.
Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media. (Garnham dalam McQuail, 2010:255)[7]
Berbicara tentang media di Indonesia adalah berbicara tentang dua hal yakni sebuah insitusi kapitalis dan masyarakat sebagai konsumen utamanya. Media kapitalis menunjukkan bahwa sebuah media massa baik cetak maupun elektronik diciptakan untuk menjadi alat pencetak keuntungan bagi pemilik modal. Bahkan kondisi ini sangat memungkinkan berita sebagai suatu komoditi yang sangat bisa dijual tampaknya sudah lama disadari di Indonesia sehingga pergeseran ideologi di dalam industri pers dari pers politik di zaman Orde Lama menjadi pers komersial pada periode 1980. (Basri, 2000: 38)[8]
Hal ini juga mengakibatkan ketergantungan khalayak terhadap media dan menumbuhkan budaya-budaya baru berkenaan dengan konsumsi media oleh masyarakat. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal (Kapitalis) terhadap publik yang diperlakukan semata-mata hanya sebagai konsumen untuk mencari keuntungan saja.
Adanya konglomerasi media sangat dipengaruhi oleh perspektif liberalisme yang memberikan banyak kebebasan pada media. Mengacu pada pendapat Adam Smith yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dapat dicapai jika pasar bebas bekerja secara sempurna. (Golding and Murdoch dalam Currant and Gurevitch, 1992 : 18)[9] Hal ini memudahkan para pemilik media massa dengan modal besar untuk melakukan merger dan akuisisi, sehingga kepemilikan media massa hanya terkonsentrasi pada segelintir orang saja.
Kekuasaan pemilik media massa, meski secara etik dibatasi, bisa saja memberi pengaruh pada konten media massanya, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audiens. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar (market) dan politik.
Berdasarkan masalah-masalah konglomerasi media (Pemilik Media Massa) yang sudah banyak terjadi di Indonesia sekarang ini. Mosco (2009 : 24)[10] menyatakan rumusan tentang ekonomi politik adalah kajian tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada. Produk-produk inilah yang menjadi sumber (resources) yang distribusikan dan kemudian dikonsumsi oleh massa. Rangkaian produksi, distribusi, dan komsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh relasi yang melibatkan pihak pengelola media, pihak pemodal atau kapitalis (penguasa dalam arti ekonomi bisnis) dan negara atau lebih tepatnya pemerintah (penguasa dalam arti politis).
Pedektan ekonomi politik, melihat media massa dari siapa penguasa sumber-sumber produksi media massa, pemegang rantai distribusi media massa, pencipta pola konsumsi masyarakat atas media massa dan komoditas lain sebagai efek kerja media. Penguasa sumber sumber produksi media massa dapat dilihat dari kepemilikian media massa, kepemilikan rumah produksi penghasil acara-acara televisi. Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan. (Sudibyo: 2000:1)[11] Melalui pola kepemilikan dan melalui produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan semata-mata sebagai konsumen, dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar.
Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan antara pengiklan dengan khalayak pengkonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisien dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh dapat maksimum.
Keterikatan media massa dengan kepentingan industri dilihat dari iklan, yang merupakan sumber pendapatan utama media. Persaingan antar media berarti juga persaingan dalam memperebutkan iklan. Pengiklan hanya mau memilih media dengan khalayak yang besar, maka media pun merubah isi dan bentuk pesan agar menarik perhatian khalayak. Program-program hiburan pun ditambah. Film, sinetron, komedi, infotainment menjadi program wajib di media pada waktu-waktu prime time agar dapat memaksimalkan jumlah audiens.
Media mengubah dan menyesuaikan isinya agar sesuai dengan harapan pemasang iklan. Jika media ingin mendapatkan iklan produk bagi konsumen kelas menengah ke bawah, maka isi media disesuaikan dengan selera penonton kelas tersebut. Produk jurnalisme sebagai output media juga harus bernilai ekonomi yang menghasilkan keuntungan. Akibatnya, standar jurnalistik ditentukan oleh pasar (khalayak/umum) atau disebut dengan market-driven journalism (jurnalisme yang dikendalikan pasar). (Rianto, 2005:114)[12]
Faktor kepemilikan media tersebut menyebabkan isu ekonomi politik media memiliki konsekuensi: Homogenisasi, Agenda Setting, dan Hegemoni Budaya. (Wayne, 2003:124)[13]
a.       Homogenisasi yang dapat diartikan sebagai : “Financial pressures ands otherforces lead all media products to becom similar, standard and uniform” atau penyeragaman bentuk tayangan atau program. Efek homogenisasi adalah konten yang ditampilkan oleh media hanya konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Program-program acara Infotainment, berita kriminal, sinetron, reality show merupakan tayangan ‘wajib’ pada semua stasiun televisi yang bernaung pada seperti kelompok MNC karena sangat menarik pengiklan. Produk jurnalisme sebagai output media massapun dikendalikan oleh pasar yang hanya melihat keuntungan dari sisi ekonomi saja. Suatu peristiwa yang diliput oleh seorang jurnalis pada suatu kelompok media akan menyiarkan peristiwa tersebut dalam sudut pandang yang sama tetapi disiarkan oleh media yang berbeda. Hal ini akan menimbulkan keseragaman konten media atau homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversifikasi media. Masyarakat akan sulit untuk mencari referensi lain dan sulit untuk melihat sisilain dari suatu kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas tersebut akibat kepemilikan yang berpusat.
b.      Agenda setting merupakan upaya media untuk membuat pemberitaan tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa melainkan ada strategi dan kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan memiliki nilai lebih yang diharapkan oleh media. Teori agenda setting berangkat dari asumsi “menciptakan apa yang menurut publik dianggap penting.” Media menata (men-setting) sebuah agenda terhadap isu tertentu sehingga isu itu dianggap penting oleh publik yang salah satunya karena isu tersebut berhubungan dengan kepentingan publik, baik secara langsung atau tidak. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Sebetulnya, dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting. Reese dan Shoemaker dalam Morrisan (2010 : 96)[14] menyatakan bahwa  merupakan hasil tekanan (pressure) yang berasal dari dalam dan luar media. Kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja. Pemilik media biasanya memaksimalkan keuntungan yang terkadang mengorbankan objektivitas berita. Selain itu, media yang ia miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan yang positif dari diri sang pemilik.
c.       Hegemoni Budaya merupakan pandangan bahwa telah terjadi dominasi oleh salah satu kelas di masyarakat atas kelas-kelas lainnya. Hegemoni budaya mengidentifikasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-class values. Dominasi berasal dari kemampuan politik dan ekonomi dalam menyampaikankepada masyarakat ideologi atau system ide yang mereka sukai. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru dari seluruh penjuru dunia. Contohnya, saat ini wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode/ (fashion), life style atau gaya hidup yang dilihat melalui sinetron yang ditampilkan media. Media selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu. Antonio Gramsci dalam Morrisan (2010:166)[15] mengatakan bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan danmenanamkan kesadaran palsu (false consciousness) bagi khalayak. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideology yang kohesif (ideology yang meresap),  satu perangkat nilai-nilai “commonsense” dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas – kelas subordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Media merupakan sumber kebudayaan paling penting, sebab ia adalah tempat utama bagi manajemen keberkesanan dan mendefinisikan posisi sosial dan status. Dalam konteks Indonesia dan negara-negara penganut neoliberalisme lainnya, afiliasi partai politik dan media adalah obsesi tersendiri bagi pejuang kekuasaan. Hegemoni tidak bersifat tetap dan mencari keseimbangan, dan dengan demikian terbuka ke atas perubahan terstruktur.
Stuart Hall (Morrisan, 2010:168)[16] berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideology dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melalui Hegemoni . Melalui media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai-nilai budaya dan membuat streotype mengenai gender, ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Perkembangan industri yang berkiblat pada perkembangan di dunia barat dan masuk budaya barat ke dalam masyarakat melalui isi yang ditampilkan oleh media sehingga dapat berakibat pada penjajahan budaya di masyarakat. Media popular cenderung mengandalkan aspek hiburan dan berorientasi komersial. Hal ini makin menumbuhkan perilaku konsumtif pada masyarakat. Perembesan ideologi hegemoni yang beroperasi melalui pesan media menciptakan gaya hidup (life style) atau pola tingkah laku sehari-hari dalam masyarakat. Dimulai dalam hal pemilihan gaya arsitektur rumah, penataan ruang, pemilihan perabot rumah, gaya busana, penampilan, mode rambut, merek sepatu, dasi, make up, lipstick hingga soal kulit, kuku, alis mata, ukuran tubuh yang ideal semuanya menjadi sentrum (pusat) kesadaran baru manusia modern dan gaya hidup kekotaan (Ibrahim, 2011:306)[17]
Dalam industri media massa, adanya korporasi perusahaan media massa  dengan merepresentasikan bentuk ketergantungan media massa terhadap iklan-klan sebagai jalan mendapat dukungan sponsorship. Hidup matinya suatu industri media massa sangat ditentukan oleh pendapatan dari dukungan iklan. Media lebih ditekankan sebagai pembuat uang (money maker) daripada melayani kebutuhan informasi bagi masyarakat dan melaksanakan peran pengawasan (watch dog) bagi pemerintah dan pelaku bisnis.
Kepemilikan media massa di Indonesia sangat berpengaruh pada independensi media yang bersangkutan. Konsentrasi kepemilikan media itu sendiri sangat berpengaruh terhadap isi atau program yang disampaikan kepada masyarakat dimana isi atau program tersebut merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik pemilik media massa tersebut. Akibatnya kepentingan masyarakat umum untuk mendapatkan kebenaran menjadi hilang. Dan efeknya, informasi tidak akan sepenuhnya tersampaikan kepada masyarakat.
Semua itu karena adanya proses agenda setting dan framming yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan pemiliknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi media massa. Kepemlikan oleh sekelompok tertentu juga berakibat pada terjadinya homogenisasi informasi.
 Tentu saja Konglomerasi media massa ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa ini. Sebagaimana masyarakat Indonesia yang sangat mudah terpengaruh dengan ajakan iklan-iklan produk baru yang hanya mengejar komersial dan keuntungan materialis belaka sehingga masyarakat mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak masyarakat Indonesia. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere (ruang publik) yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi yang sebenarnya dan menjadi ajang ruang diskusi publik tanpa adanya campur tangan oleh pihak-pihak tertentu yang dapat mengganggu Independensi media massa tersebut. Dalam artian media massa selayaknya menjadi “The Market Places Of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
Selama media massa masih dikuasai oleh ideologi dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal. Media massa akan senantiasa menjadi ajang hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.
Bauran partai politik dan konglomerat media massa dewasa ini adalah konsekuensi logis dari kebebasan media messa dalam melakukan korporasi antara pemilik media massa dan partai politik akan sarat kepentingan kekuasaan. Media massa pun terdistribusi berdasarkan kepentingan ideologi ataupun ekonomi. Dennis McQuail. (2010; 93)[18] menyatakan audiens pada dasarnya adalah pasif, maka dengan demikian efek yang dihasilkan adalah besar dan mempertegas struktur sosial yang sudah kuat. Bertolak dari kesadaran bahwa pseudoevent dalam dunia politik, maka khalayak atau masyarakat umum harus diberdayakan dari kemungkinan manipulasi citra politik yang dikemas media massa.
Oleh karena itu media massa harus memiliki kemandirian serta bebas dari pengaruh dan dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam publik, kepentingan negara serta tekanan pasar. Public sphere sebaiknya menjamin terjadinya diskursus nasional untuk mencapai konsensus publik yang sah. Apalagi ketika media menjalankan fungsi ideoligisnya yang menentukan kepentingan apa, masalah siapa, perspektif mana yang akan diakses ke dalam media mereka (ruang publik media massa). Permasalahan inilah yang harus benar-benar dicermati dalam pemberitaan media massa saat ini untuk menciptakan fungsi public sphere yang ideal. Hal ini bisa dikaji melalui pangamatan tentang sejauh mana kemampuan media massa terlepas dari dominasi-dominasi golongan-golongan tertentu dan sejauh mana media memberikan akses berimbang pada publik yang terkait tanpa memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu. (Craigh Calhoun, 1993)[19]




REFERENSI :
Colin Sparks, Democratisation and the Media, A Preliminary Discussion of Experirences in Europe and Asia, in Jurnal the Public vol.8 (2001),4,7-30. University of Westminster, 2001
McQuail, Denis. McQuail’s. Mass Communication Theory. Third Edition. London: SAGE Publications, 2002
McQuail Dennis, 2010, Teori Komunikasi Massa, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta
Craigh Calhoun, Habermos and the Public Sphere, Rethingking the Publik Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy, MITPress,1993.
Dedy N.Hidayat, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001
Basri, M.Chatib dkk,2000.Exit, Voice and Loyality: Ekonomi Politik Modal dan Peran Media Dalam Mass Kritis dalam Pers Dalam ‘Revolusi Mei’ Runtuhnya Sebuah Hegomoni, Gramedia: Jakarta
Golding, Peter and Graham Murdock, in James Currant and Michael Gurevitch, 1992, Mass Media and Society, Routledge, Chapman and Hall Inc, New York
Mosco, Vincent, 2009, The Political Economy Politic Media, Sage Publication,
London
Sudibyo,Agus, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, LKiS, Yogyakarta
Rianto, Puji, 2005, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta, Vol.9, N0.1, hal 113-130, ISSN 1410-4946
Wayne, Mike, 2003, Marxism and Media Studies, Pluto Press, London
Ibrahim, Idi Subandy, 2011, Budaya Popular sebagai Komunikasi, jalasutra, Yogyakarta
Morrisan, 2010, Teori Komunikasi Massa, Ghalia Indonesia, Jakarta



[1] Colin Sparks, Democratisation and the Media, A Preliminary Discussion of Experirences in Europe and Asia, in Jurnal the Public vol.8 (2001),4,7-30. University of Westminster, 2001
[2] McQuail, Denis. McQuail’s, Mass Communication Theory, Third Edition, London: SAGE Publications, 2002 hlm.207
[3] McQuail Denis, 2010, Teori Komunikasi Massa, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta,hlm.245
[4] Craigh Calhoun, Habermos and the Public Sphere, Rethingking the Publik Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy, MITPress,1993.
Ibid., hlm.290.
[5] Dedy N.Hidayat, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001
[6] Ibid., hlm.ll2-113.
[7] McQuail Denis, 2010, Teori Komunikasi Massa, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta,hlm.255
[8] Basri, M.Chatib dkk, 2000.Exit, Voice and Loyality: Ekonomi Politik Modal dan Peran Media Dalam Mass Kritis dalam Pers Dalam ‘Revolusi Mei’ Runtuhnya Sebuah Hegomoni, Gramedia: Jakarta,hlm.38
[9] Golding, Peter and Graham Murdock, in James Currant and Michael Gurevitch, 1992, Mass Media and Society, Routledge, Chapman and Hall Inc, New York,hlm.18
[10] Mosco, Vincent, 2009, The Political Economy Politic Media, Sage Publication,hlm.24
[11] Sudibyo,Agus, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, LKiS, Yogyakarta,hlm.1
[12] Rianto, Puji, 2005, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta, Vol.9, N0.1, hal 113-130, ISSN 1410-4946, hlm.114
[13] Wayne, Mike, 2003, Marxism and Media Studies, Pluto Press, London, hlm.124
[14] Morrisan, 2010, Teori Komunikasi Massa, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm.96
[15] Morrisan, 2010, Teori Komunikasi Massa, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm.166
[16] Morrisan, 2010, Teori Komunikasi Massa, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm.168
[17] Ibrahim, Idi Subandy, 2011, Budaya Popular sebagai Komunikasi, jalasutra, Yogyakarta, hlm.306
[18] McQuail Denis, 2010, Teori Komunikasi Massa, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta,hlm.93
[19] Ibid., hlm. x-xi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN PLENO 1 KPP 2014-2015

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGURUS HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SUKOHARJO KOMISARIAT AHMAD DAHLAN I PERIODE 2013-2014 BIDANG KEWIRAUSAHAAN DAN PENGEMBANGAN PROFESI Sekretariat; Dk. Morodipan Rt 02/Rw 01 Gonilan kartasura Sukoharjo Email: hmi_ad1@yahoo.com ,@Hmi_komAD1, Hp 085870179547/085740012136 Presidium sidang pleno 1 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sukoharjo Komisariat Ahmad Dahlan I yang saya hormati, Pengurus Komisariat Ahmad Dahlan I yang saya banggakan, Kanda / Yunda pengurus Cabang dan MPKPK Komisariat Ahmad Dahlan I yang saya hormati, Adinda kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam yang saya banggakan dan saya sayangi, Tamu undangan dan semua kader HMI Cabang Sukoharjo yang telah rela berjuang untuk perubahan bangsa dan Negara yang saya hormati, BAB I PENDAHULUAN             Assalamualaikum warohmatulluhi wabarokatu             Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT   atas segala limpahan nikmat serta hidayah sehi

PROPOSAL USAHA YOGA

PROPOSAL USAHA YOGA PROPOSAL USAHA YOGA Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan Disusun Oleh :  Nama : Yoga Pradito W NIM : J310120039 PROGRAM STUDI GIZI S1 FAK ULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015   KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam kami sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhammad SAW. Diantara sekian banyak nikmat Allah SWT yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya kami dapat menyelesaikan tugas kewirausahaan ini dengan baik dan tepat waktu. Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan proposal ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh guru pada mata kuliah kewirausahaan Gizi S1 . Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai hambatan, na

Donat Kampung

Donat Kampung Donat kamp ung yang padat namun em puk seperti bantal selalu membuat saya bern ostalgia tentang masa kecil. Dulu waktu saya masih tinggal di Paron dan duduk di bangku Sekolah Dasar,  kami memiliki tetangga yang luar biasa baik hati. Hampir setiap minggu sepiring donat hangat yang baru saja keluar dari penggorengan dengan taburan gula halus di permukaanya akan diantarkan ke rumah. Saat itu kondisi perekonomian orang tua saya cukup memprihatinkan dengan empat orang anak kecil yang memiliki nafsu makan seperti raksasa, membuat Ibu saya benar-benar harus mengatur keuangan dengan sangat ketat. Jajan makanan di luar merupakan kemewahan dan tidak pernah kami lakukan bahkan walau hanya untuk sepotong pisang goreng yang dijual di warung kopi di sebelah rumah.  Menyanta p donat hangat tidak pernah muncul di dalam be nak kami hingga tiba-tiba di satu sore yang mendung salah satu anak gadis tetangga sebelah mengetuk pintu r umah dan mengulurkan sepiring makana