MAKALAH
TANTANGAN PARTAI
POLITIK ISLAM INDONESIA DALAM MENGHADAPI REALITAS DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA
Diajukan untuk Memenuhi
Persyaratan Mengikuti
LATIHAN KADER DAKWAH
TINGKAT NASIONAL
BAKORNAS LDMI PB HMI
Disusun Oleh :
YOGA PRADITO WIBIYANTORO
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM ( HMI )
KOMISARIAT AHMAD DAHLAN 1
CABANG SUKOHARJO
2015
KATA
PENGANTAR
Yoga Pradito Wibiyantoro |
Suatu rahmat yang besar dari ALLAH
SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, Taufiq dan
Rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna
persyaratan untuk mengikuti Latihan Kader Dakwah (LKD) tingkat nasional
yang dilaksanakan oleh BAKORNAS LDMI PENGURUS BESAR HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (
PB HMI) pada tanggal 30 April s/d 04 Mei 2015 di Graha Insan Cita, Depok, Jawa
Barat. Adapun judul makalah ini adalah: TANTANGAN PARTAI POLITIK ISLAM
INDONESIA DALAM MENGHADAPI REALITAS DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA. Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Sukoharjo
dan juga rekan-rekan kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu
memberikan saran, koreksi dan Motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak
lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada kanda-kanda pengurus HMI
Cabang Sukoharjo yang juga tidak luput memberi bantuan kepada penulis, dari
segi moril maupun materil serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
untuk semua anggota BAKORNAS LDMI PB HMI yang telah berjuang untuk mengadakan Latihan
kader Dakwah (LKD) ini dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin
Surakarta, 18 April 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................................
3
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
7
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................
8
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar Demokrasi Dan Politik Islam....................................................................
8
B. Partai
Politik Islam Dalam Dinamika Demokrasi Di Indonesia......................................
11
C. Sejarah Islam Dalam Demokrasi Di Indonesia................................................................
14
D.
Penurunan Dukungan Partai Politik Islam Di Indonesia.................................................
17
E. Menemukan
Dan Merumuskan Jalan Baru Partai Politik Islam......................................
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................
26
B. Saran................................................................................................................................
27
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dewasa
Ini, Relasi Islam dan politik kaum
Muslim di Indonesia senantiasa menarik. Hal ini karena selain umat Islam
menjadi penduduk mayoritas di negeri ini, Islam juga menjadi faktor yang
menentukan dalam setiap perubahan sosial, politik, budaya, dan keagamaan bangsa
ini. Yang juga berbeda dengan kondisi politik umat Islam di negara lain,
pemahaman keagamaan, identitas politik, serta aspirasi umat Islam di Indonesia
dari waktu ke waktu tidak bersifat homogen, namun bersifat heterogen. Posisi
umat Islam yang strategis dan signifikan itu, menjadikan banyak kekuatan sosial
dan politik berlomba-lomba mendekati dan berusaha secara serius agar meraih
dukungan sosial dan politiknya.[1] Terbentuknya
Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak lepas juga dari perjuangan kaum
Muslimin Indonesia, sebagaimana pendiri bangsa (fouding father) kita yang telah
memperjuangkan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia.
Perjalanan politik Indonesia dari masa ke masa tidak pernah bisa
dilepaskan dari peran politik yang dimainkan oleh umat Islam, dalam sejarahnya
umat Islam Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi arah pembangunan
politik dan demokrasi. Turut sertanya umat Islam dalam kehidupan politik telah
menjadikan panggung politik nasional bergerak cukup dinamis.
Menurut Dr. Zuly Qodir, membicarakan
relasi umat Islam dengan politik memiliki posisi yang sangat strategis,
mengingat penduduk Indonesia dari total 237 juta jiwa sebesar 86,7 % mayoritas
beragama Islam, maka secara politik dan sosiologis fakta tersebut sangat
penting untuk diperhatikan, serta menjadi sesuatu yang relevan sebagai objek
kajian. Relasi umat Islam dengan politik merupakan sebuah konsekuensi logis
dari diterapkannya sistem demokrasi di republik ini, meskipun sikap umat Islam
dalam memandang hubungan Islam dengan politik (demokrasi) tersebut tidak
seragam. Umumnya terdapat tiga varian besar pandangan umat Islam mengenai
relasi Islam dengan politik.[2]
Diskusi tentang partai Islam hari ini tentu
tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan politik umat Islam di Indonesia
terutama pasca reformasi. Turunnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan harapan
baru bagi umat Islam Indonesia untuk bisa memperoleh ruang politik yang lebih
besar. Pada era Habibie yang menggantikan Soeharto, umat Islam berusaha
memaksimalkan kondisi sosial politik yang ada. Pada saat yang bersamaan,
Habibie mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang mendukung proses transisi
menuju demokrasi di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, Habibie memberikan
kontribusi yang signifikan untuk liberalisasi politik. Hal itu tampak pada
kebijakannya untuk memberikan kebebasan pada para tahanan politik, mengatur
kebebasan pers, menghapus kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal,
dan mengakhiri pembatasan jumlah partai politik.[3]
Mengutip Munawir Sjadzali, ada tiga aliran
besar melihat peta hubungan antara Islam dengan politik (demokrasi). Pertama,
Islam formalis, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama
dalam pengertian barat, yakni menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan,
sebaliknya Islam merupakan agama yang sempurna (syamil) dengan
pengaturan segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Aliran
Islam ini memiliki keyakinan, bahwa Islam memiliki seperangkat sistem politik (siyasah)
tersendiri yang berbeda dengan demokrasi (barat), dari pemahaman keberagamaan
tersebut, aliran Islam ini memperjuangkan formalisme agama Islam menjadi dasar
dalam bernegara. Kedua, Islam liberal, aliran yang berpandangan bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian barat yang tidak memiliki seperangkat
konsep kenegaraan, Islam ditempatkan sebatas agama yang hanya mengatur aspek
spiritual setiap penganutnya, aliran ini menyakini bahwa Islam tidak boleh ikut
campur tangan mengurusi masalah kenegaraan. Aliran ini menolak formalisme Islam
ke dalam kehidupan kenegaraan. Ketiga, Islam subtansi, aliran yang
menolak pandangan Islam agama serba lengkap, juga menolak Islam tidak memiliki
nilai etik politik kenegaraan, aliran terakhir ini menjadi sintesis dari kedua
aliran sebelumnya, mereka yang menganut aliran ketiga ini memiliki pandangan
bahwa Islam menyediakan pandangan-pandangan etis bagi pengaturan masyarakat dan
negara, tetapi yang menarik aliran ini menolak formalisme Islam, cukup
nilai-nilai subtansi Islam tentang keadilan, kesejahteraan dan demokrasi
menjadi perioritas utama dalam bernegara.[4]
Jika pada era Soeharto jumlah partai hanya
dibatasi menjadi 3 (tiga), maka pasca reformasi partai tumbuh bak cendawan di
musim hujan. Hampir semua politisi memanfaatkan euphoria reformasi ini dengan
mendirikan partai politik baru. Dan organisasi sosial keagaman seperti NU dan
Muhammadiyah yang sebelumnya lebih fokus pada kegiatan dakwah dan pendidikan,
juga tak ketinggalan ikut mendukung dan mensponsori pendirian partai baru. Yang
menarik, hampir sepertiga dari jumlah total partai yang berdiri dan lolos
sebagai peserta pemilu tahun 1999 itu, terdiri dari partai-partai Islam. Partai
Islam berjumlah 42 dari total partai yang mendaftar Pemilu. Yang dikategorikan
sebagai partai Islam adalah partai yang beraskan Islam seperti PBB (Partai
Bulan Bintang), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PK (Partai Keadilan),
Partai Masyumi, PUI (Partai Umat Islam), dan sebagainya. Sebagian partai
berasaskan Pancasila, namun berbasiskan pada organisasi Islam, seperti PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional).[5]
Dari 42 partai Islam yang mendaftarkan diri, hanya 20 partai Islam yang lolos
ikut Pemilu 1999. Yang perlu diketahui, inilah era reformasi di mana umat Islam
benar-benar bisa mengekspresikan aspirasinya secara formal untuk menunjukkan
elektabilitas sebenarnya dari partai politik Islam setelah hampir selama 4
dekade (1959-1998) kehendak berpolitiknya melalui jalur formal partai politik
dibelenggu oleh rezim Orde Baru.
Dengan banyak berdirinya partai politik Islam di era
reformasi, menjadikan panggung politik Indonesia semakin dinamis, pembicaraan
relasi Islam-negara akan semakin menarik, terlebih iklim kebebasan politik era
reformasi, memberi peluang seluas-luasnya kembalinya aspirasi Islam politik
dalam menerapkan Islam sebagai dasar negara. Dari sinilah aliran Islam formalis
menemukan kembali momentum eksistensinya, yang selama tiga puluh tahun orde
baru berkuasa peran politik mereka termarginalkan, karena ketika itu, Presiden
Seoharto lebih merangkul kalangan Islam yang moderat dan akomodatif terhadap
kebijakan politik pembangunannya.
Reformasi telah memberikan kesempatan
selebar-lebarnya setiap keyakinan serta ideologi politik untuk berlomba-lomba
mengisi ruang-ruang publik, selanjutnya dikontestasikan secara legal dan damai
melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali. Tentunya
pergulatan ideologi tidak hanya terjadi antara kutub agamis dengan nasionalis,
bahkan mungkin sesama kalangan agamis terjadi pergulatan bersifat ideologis dan
pragmatis, antara kalangan formalis dan subtansi, saling mengkalim penafsiran
politiknya paling sesuai dengan ajaran Islam. Dengan munculnya pergulatan ini
tentunya menjadi suatu fenomena yang menarik untuk di teliti lebih lanjut,
selain akan memberikan kontribusi terhadap disiplin ilmu politik, akan
memberikan pengetahuan kepada kita, mengenai perkembangan politik kalangan
Islam pasca pergumulan politik masa orde lama dan orde baru.[6]
Selain ditandai dengan lahirnya partai-partai
Islam, era reformasi yang dimulai dari kepemimpinan Habibie juga ditandai
dengan tumbuhnya berbagai organisasi Islam radikal di Indonesia. Banyak
organisasi radikal Islam yang tumbuh memanfaatkan peluang kebijakan rezim ini
yang memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk mendirikan organisasi,
baik berbasis sentimen keagamaan, etnis, profesi, maupun hobi. Organisasi
radikal Islam menjadi tantangan yang serius bagi transisi demokrasi di
Indonesia. Meskipun keberadaan organisasi radikal ini merupakan konsekuensi
logis dari demokrasi dan mereka berhak memanfaatkan proses demokrasi, namun
organisasi-organisasi ini banyak digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
tidak demokratis. Tujuan tidak demokratis itu misalnya keinginan untuk mendirikan
negara Islam,pemaksaaan pendapat dan paham keagamaannya, intimidasi terhadap
kelompok lain, atau keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah serta tidak
mengakui negara yang sah. Kelompok-kelompok yang dikategorikan gerakan Islam
radikal ini di antaranya adalah: FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis
Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad, Front
Hizbullah, Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin Indonesia, dan sebagainya. [7]
Namun sekarang setelah pasca reformasi
partai politik islam sudah mulai mengalami kemunduran terutama dalam mengikuti
pemilu dimulai awal tahun 2004, 2009 dan menjelang pemilu 2014. Sekarang pun
elektabilitas dan popularitas tokoh-tokoh dari partai politik islam dimata
masyarakat Indonesia semakin berkurang. Masyarakat Indonesia sekarang lebih
condong memilih kalangan tokoh-tokoh dari partai nasionalis. Salah satu alasan kekalahan tersebut adalah
terdapat lebih dari 46,1 persen responden yang menilai apabila menang dan
memimpin, partai Islam akan menerapkan hukum syariah. Sekitar 230 juta atau
sekitar 85 persen dari total penduduk Indonesia beragama Islam, jumlah yang
lebih besar dari total penduduk Islam di kawasan Timur Tengah. Hasil penelitian
ini menarik dikaji karena indikasi lemahnya partai Islam justru terjadi di
tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Bahkan pandangan “negatif”
terhadap partai Islam datang dari sebagian umat Islam sendiri.[8]
Ini dibuktikan, oleh rilisan berbagai
lembaga survei mengenai prospek partai-partai Islam dalam Pemilu 2014 tampaknya
kurang begitu menyenangkan. Misalnya, survei dari Lingkaran Survei Indonesia
(LSI Network) tahun 2012 memaparkan bahwa nasib partai-partai Islam hanya akan
memperoleh suara di bawah 5 %, yaitu antara 2-3 %. Partai-partai Islam yang
masuk kategori ini adalah PKS, PPP, PKB, dan PAN. Dengan temuan itu, LSI
memprediksi bahwa pada Pemilu 2014 nanti, diperkirakan hanya 2-3 partai Islam
saja yang lolos masuk ke parlemen dengan perolehan sesuai dengan ambang batas
yang ditentukan (parliamentary treshold).[9]
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia
(LSI Network) pada bulan Maret tahun 2013 juga menunjukkan hasil yang hampir
mirip dari tahun sebelumnya. Dari keseluruhan partai Islam, rata-rata mereka
mendapatkan dukungan kurang dari 5 %. Dari survei LSI Network yang dilakukan di
33 provinsi di Indonesia dengan mengambil 1200 responden itu, tampak bahwa
elektabilitas PKB tercatat 4,5 %, PPP 4 %, PAN 4 %, dan PKS 3,7 %.[10]
Jika kita perhatikan performa para tokoh-tokoh Islam pada survei-survei
terakhir, juga nampak bahwa elektabilitas mereka tidak ada yang masuk 4 besar
kandidat calon presiden RI tahun 2014.[11]
Hal ini menunjukkan bahwa elektabilitas tokoh-tokoh dari kalangan partai
politik islam sekarang sudah mulai tidak ada yang bisa masuk nominasi calon
presiden Indonesia. Malah kebanyakan nominasi calon presiden Indonesia
rata-rata didominasi oleh tokoh-tokoh dari kalangan partai nasionalis.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang permasalahan diatas maka Makalah
ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan berikut:
1.
Mengapa posisi partai Islam lemah
dan bagaimana prospek partai Islam dalam dinamika demokrasi di Indonesia?
2.
Bagaimana yang harus dilakukan partai
politik islam dalam menghadapi tantangan dinamika demokrasi di Indonesia agar
mampu bersaing dengan partai-partai non-Islam (Nasionalis)?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan
konsep dasar demokrasi dan politik Islam serta
perjalanan partai politik islam dalam mengikuti kancah perpolitikan
nasional di Indonesia
2. Menjelaskan
Peran Partai Islam yang seharusnya
dilakukan dalam kancah perpolitikan nasional dalam
dinamika demokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP DASAR
DEMOKRASI DAN POLITIK ISLAM
Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan yang dinilai buruk oleh
sebagian filosof. Pemerintahan yang didasarkan asas demokrasi adalah
pemerintahan yang pemimpinnya ber-asal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Akan tetapi, demokrasi seperti ini hampir sulit didapatkan; yang tampak
di hadapan mata adalah segelintir orang menentukan atau mengendalikan orang
banyak.
Aristoteles (w. 347 SM) (2000) menjelaskan tiga hal, yaitu pemegang
kekuasaan tertinggi, tujuan pemerintah-an, dan bentuk pemerintahan.
Menurut-nya, jumlah pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu (1) kekuasaan tertinggi
dalam menyelenggarakan negara berada di tangan satu orang; (2) kekuasaan
tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan beberapa orang; dan
(3) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan banyak
orang.
Tujuan pemerintahan dibedakan oleh Aristoteles menjadi dua, yaitu (1)
pemerintahan yang bertujuan untuk membentuk kebaikan, kesejahteraan umum, dan
pemenuhan kepentingan umum (tujuan baik); dan (2) pemerin-tahan yang bertujuan
untuk membentuk kebaikan, kesejahteraan, dan pemenuhan kepentingan pemegang
kekuasaan itu sendiri (tujuan buruk, penyimpangan). Bila dilihat dari segi kuantitas, pemegang
kekuasaan tertinggi, dan tujuan negara
Aristoteles pun mengkla-sifikasikan bentuk pemerintahan menjadi dua, yaitu
pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang buruk. Menurut Aristoteles,
bentuk-bentuk pemerintahan yang baik adalah monarki, yaitu kekuasaan tertinggi
dalam penyelenggaraan negara berada di tangan satu orang dengan tujuan
pemerintahan untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum;
aristokrasi, yaitu kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di
tangan beberapa orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan,
kebaikan, dan kesejahtera-an umum; politeia (negara), yaitu kekuasaan tertinggi
dalam penyeleng-garan negara berada di tangan banyak orang dengan tujuan
pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum
(Rapar, 1993:44-46).[12]
Bagi Aristoteles, bentuk negara yang paling ideal adalah monarki.
Selain itu, ia menjelaskan tiga bentuk pemerintahan yang buruk, yaitu tirani
(sebagai kebalikan dari monraki). Tirani adalah kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara berada di tangan satu orang dengan tujuan pemerintahan
untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan kesejahteraan penguasa, Oligarki
adalah kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan
beberapa orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan,
dan kesejah-teraan penguasa; demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan
orang banyak yang berasal dari kalangan tertentu yang dominan, digunakan lebih
banyak untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan kelompok
pendukungnya (Campbell, 1994:18-19).[13]
Amin Rais, reformis muslim Indonesia, menjelaskan bahwa esensi demokrasi, yaitu
kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan beragama; ke-bebasan dari rasa takut;
kebebasan untuk sejahtera; kebebasan rakyat dalam berpartisipasi politik untuk
menentukan nasibnya sendiri; dan berjalannya keseimbangan (check and
balances), serta tegaknya hukum (Rais, 1998: 6).[14]
Sebagai ide, demokrasi bukan
hal baru melainkan telah melalui proses panjang, bahkan dinilai sebagai salah
satu bentuk pemerintahan. Menurut Aristoteles, demokrasi merupakan produk dari
perubahan bentuk pemerintahan yang dimulai dari monarki, kemudian berubah
menjadi tirani. Dari tirani berubah menjadi aristokrasi, kemudian oligarki.
Oligarki digantikan oleh polity, yang kemudian menjadi demokrasi. Dalam
hal ini, Aristoteles percaya bahwa bentuk pemerintahan ideal adalah monarki,
aristokrasi, dan polity. Sementara demokrasi, sama halnya dengan
pemerintahan tirani dan oligarki, tidak lagi memperhatikan equality
dalam partisipasi politik dan pengambilan kebijakan (Grigsby, 2011: 81)[15]. Singkatnya,
sistem demokrasi merupakan produk gagal dari tesis
dan antitesis bentuk pemerintahan sebelumnya.
Secara istilah, demokrasi berasal dari kata demos dan kratos atau kratein.
Demos artinya rakyat dan kratos berarti
pemerintahan. Sehingga, secara sederhana
demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebagai implikasinya, diharapkan muncul political equality, popular participation, dan rule
in the public interest (Sidney
Verba, 1969: 3).[16]
Pada awalnya, demokrasi langsung menjadi
gambaran penentangan masyarakat terhadap sistem otoriter dalam pemerintahan,
dengan menerapkan sistem mass meeting. Pemerintah yang otoriter biasanya
berbentuk monarchial absolutism, traditional dictatorship, military rule,
dll. Namun dalam perkembangannya, seiring makin luasnya wilayah
negara dan meningkatnya jumlah penduduk, demokrasi representatif menjadi
pilihan sejak era renaissance Eropa. Meski dalam praktiknya, semangat
dan nilai yang ada dalam demokrasi langsung tetap tidak bisa ditinggalkan,
karena sifat kedua formula demokrasi tersebut yang saling melengkapi (David
Altman, 2011: 40-41).[17]
Dalam demokrasi perwakilan, pemilu menjadi
elemen penting untuk melakukan proses perubahan pemerintahan. Pemilu
menggambarkan peran penting dan strategis masyarakat dalam menentukan
kehidupan mereka dalam sistem politikyang berjalan. Demokrasi bergeser dan
mempunyai beberapa varian, di antaranya adalah konsep good governance,
political democracy, industrial democracy, liberal democracy,
participatory democracy, dll. Dari beberapa varian tersebut,
analisis tentang demokrasi sering mengerucut pada dua perdebatan penting, baik
dalam konteks pemaknaan demokrasi prosedural maupun substansif. Yang pertama
fokus pada aturan-aturan dalam demokrasi yang harus dilaksanakan secara
konstitusional, sedangkan yang kedua lebih menekankan pada aspek produk dari
demokrasi untuk kepentingan bersama (Shapiro, 1996:123).[18]
Adapun partai Islam, berkaitan erat dengan
pemahaman terhadap hubungan antara Islam dan politik. Bernhard Platzdasch
(2009: xi)[19],
mendefinisikan bahwa politik Islam terdiri dari berbagai partai dan gerakan
yang menginginkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik dan sosial.
Dengan makna yang sama, Olivier Roy menjelaskan bahwa partai dan gerakan Islam
merupakan kelompok aktivis yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik
sebagaimana mereka memahami agama (1994: vii).[20]
Sementara Anis Rasyid Baswedan menjelaskan
bahwa politik Islam merupakan upaya untuk memperjuangkan aspirasi kelompok dan
agenda-agenda Islam, agar mempengaruhi hukum dan kebijakan pemerintah, melalui
proses elektoral dan institusi legislatif (2004: 670)[21].
Artinya, gerakan meng-Islamisasi di kalangan masyarakat Indonesia dalam tatanan
sistem demokrasi yang dimana masyarakatnya berada pada pusaran kemajemukan atau
keanekaragaman budaya sangat erat kaitannya dengan partai politik Islam di
Indonesia melalui lembaga-lembaga demokrasi yang sudah ada.
B. PARTAI POLITIK ISLAM DALAM DINAMIKA
DEMOKRASI DI INDONESIA
Meskipun demokrasi dalam
pandangan barat merupakan upaya untuk menghargai keberadaan manusia dalam hidup
ini sehingga terwujud persamaan, realita menunjukkan bahwa negara-negara berkembang
yang notabene mayoritas Islam“dipaksa” melaksanakan demokrasi ala Amerika, yang
belum tentu sesuai dengan kondisi sosial politik negara-negara tersebut. Padahal
demokrasi seharusnya bisa dimaknai seperti sepatu, boleh jadi berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Bangsa-bangsa Islam semestinya bisa diberi keleluasaan
untuk mendefinisikan sendiri makna demokrasi yang sesuai dengan budaya politik
yang mereka miliki. Nyatanya, dominasi dan hegemoni barat terhadap negara
berkembang, termasuk Indonesia, begitu kentara. Tidak ada persamaan, justru
hukum rimba yang berlaku. Siapa yang paling kuat secara ekonomi, politik, dan
militer, maka ia akan menguasai dunia. Kelompok realis percaya bahwa negara
yang powerful akan mendikte negara yang lemah sesuai dengan kepentingan
mereka.[22] Adapun Marxisme
meyakini bahwa dalam konteks ekonomi, negara
yang kuat akan mengeksploitasi negara yang
lemah (Kivimaki, 2003: 17).[23]
Indonesia pun belum bisa mandiri di berbagai aspek kehidupan bernegara. Ia
menjelma sebagai negara lemah yang banyak bergantung dengan kekuasaan asing,
terutama yang melabeli dirinya sebagai negara paling demokratis. Di ranah
domestik, Indonesia juga mengalami masalah serius. Kesejahteraan rakyat yang
diinginkan atas nama demokrasi belum terwujud. Pilkada-pilkada yang awalnya
dimaksudkan menjadi sarana distribusi kekuasaan, justru menjadi ajang menumpuk
kekayaan dan kekuasaan pribadi. Hak otonomi daerah hanya memindahkan korupsi
dari Jakarta ke berbagai daerah. Belum lagi biaya yang dikeluarkan negara untuk
menyubsidi kebutuhan daerah yang baru memekarkan diri dan belum mempunyai
pemasukan unggulan, jumlahnya sangat besar. Bahkan program pemekaran wilayah
seringkali digunakan untuk kepentingan segelintir elite di daerah. (Aspinall
& Mietzner, 2009: 8-9)[24]
Bahkan patut menjadi pertanyaan, di negara
mana demokrasi benar-benar mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat dan
terhindar dari partai-partai pragmatis? Buktinya, Amerika yang menganggap diri
sebagai negara paling demokratis justru memperlakukan negara
lain dengan
tidak elegan. Negara ini dengan mudah menyerang negara lain tanpa menghargai
HAM dan kebebasan sebagaimana yang mereka dengungkan. Akibatnya, kerugian dan
korban
berjatuhan
akibat demokrasi. Meskipun demikian, sebagian mereka yang sudah terbius dengan
demokrasi mengganggap persoalan-persoalan yang terjadi merupakan biaya transisi
menuju demokrasi (Nagle & Mahr, 1999: 264-265).[25]
Dalam konteks demokrasi Indonesia misalnya,
beberapa hal yang terjadi sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi antara
lain: Pertama, biaya proses demokrasi sangat mahal. Dalam pemilu 2009,
berita Kompas, 3 Maret 2009 menyebutkan bahwa paling tidak pemilu
memerlukan 512.188 TPS dan 1.024.376 anggota satuan perlindungan masyarakat.
Meski berbeda dengan data dari Menkopolkam yang menyampaikan bahwa dalam pemilu
2009 terdapat 611.636 TPS dan memerlukan 1.223.272 personil satlinmas, kedua
data tersebut sama-sama mengindikasikan besarnya biaya operasional pelaksanaan
pemilu di negeri ini.[26] Kedua,
proses demokrasi mengancam persatuan masyarakat, terlihat dari semakin
terfragmentasinya masyarakat di negeri ini. Konflik begitu mudah disulut hanya
karena persoalan sepele. Maklum, setiap lima tahun sekali, mereka seakan
dilatih untuk berkonflik karena banyaknya jumlah pilkada yang diadakan. Jangankan
dalam masyarakat, keluarga pun banyak yang berpisah karena perbedaan partai.
Lebih berbahaya lagi ketika konflik ini tidak hanya di tataran pandangan
politik, pada beberapa kasus bahkan telah menjadi kekerasan fisik. Ketiga,
demokrasi ternyata belum mampu benar-benar menjadi sarana perjuangan terhadap
kepentingan masyarakat. Buktinya, banyak partai politik yang berkembang menjadi
partai pragmatis, bahkan yang melekatkan identitas keagamaan sekalipun.
Perjuangan mereka bukan lagi untuk kepentingan rakyat atau bangsa, tetapi lebih
pada kepentingan golongan atau pribadi.[27]
Indikasi pragmatisme partai politik
terlihat pula dari pola koalisi berorientasi kekuasaan yang dibangun. Bagi
mereka, ideologi atau komitmen terhadap moral politik terkadang bukan menjadi
hal penting. Akibatnya, upaya memperjuangkan masyarakat yang kehilangan
pekerjaan dan diliputi oleh kemiskinan, terutama di kalangan petani dan buruh,
tidak serius dilakukan. Masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap
politik, terlihat dari besarnya arus golput terutama pada kalangan terdidik
(Soebagio, 2008: 83-85).[28]
C. SEJARAH
ISLAM DALAM DEMOKRASI DI INDONESIA
Seringkali Islam digunakan sebagai alat
politik atau manipulasi terhadap masyarakat dan bukan murni untuk perjuangan Islam
itu sendiri (Eliraz, 2004:91).[29]
Perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam dalam memandang politik pun
berkembang luas. Meskipun mempunyai pandangan yang sama tentang arti penting
dakwah dalam upaya menyebarkan ajaran Islam dan meningkatkan pemahaman ke-
Islaman di tengah masyarakat, Islam ternyata berdebat tentang hubungan Islam
dengan negara. Satu kelompok menginginkan Islam bersatu dengan negara dalam
arti ditegakkannya syariat Islam. Namun, pihak lain mengatakan bahwa antara
Islam dan negara harus dipisahkan, tidak sepantasnya negara membiayai atau
mendukung berbagai kegiatan ke-Islaman. (An-Na’im, 2008: 228)[30]
Kelompok pertama sering disebut sebagai
kelompok muslim nasionalis. Mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap
keyakinannya dan sangat menginginkan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya,
Islam tidak membedakan urusan dunia dan akhirat, sama halnya urusan agama dan
politik. Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Adapun
kelompok yang terkenal sebagai sekuler nasionalis tidak menginginkan agama
bersatu dengan negara. Mereka adalah para pemimpin politik yang tidak hanya
berasal dari Islam, tetapi juga berasal dari agama lain seperti Katolik,
Protestan, Hindu, dan agama lainnya.
Menurut mereka, tidak sepantasnya politik
dicampuradukkan dengan agama karena agama lebih kepada persoalan pribadi.
Bentuk sekularisme yang mereka kembangkan sesungguhnya juga belum pasti mereka
lakukan dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak berkenaan dengan politik. Dalam
hal pakaian, makanan, atau kebiasaan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka
sangat memegang teguh prinsip agama. Kian hari perpecahan umat Islam pada masa
Orde Lama kian kentara. Pada waktu itu kelompok Islam terbagi dalam tiga
kekuatan politik yaitu Masyumi, NU, dan DI/TII. Masing-masing gerakan politik
ini berbeda karakter, Masyumi lebih kritis, sementara NU cenderung bersikap
kooperatif dengan pemerintah dan justru mendukung ide NASAKOM yang dikembangkan
Soekarno (Azra, 2006: 204).[31]
Adapun DI/TII terkenal sebagai gerakan
ekstremis yang berusaha untuk mendirikan negara sendiri, terpisah dari NKRI
yang berdasarkan syariat Islam (Kimura, 2013:42).[32]
Kondisi ini membuat pemerintah menganggap Islam sebagai ancaman sehingga
Soekarno membubarkan Masyumi. Namun di sisi lain, pemerintah menjadi semakin dekat
dengan komunisme (Hasyim, 2010: 189).[33]
Belum lagi persoalan berkaitan dengan
pemahaman ke-Islaman masyarakat muslim Indonesia yang masih sangat lemah.
Mereka memahami agama lebih sebagai simbol ideologis dibandingkan alat dan
panduan implementatif. Ketika simbol-simbol agama dipersoalkan akan menyebabkan
kemarahan besar, namun saat isi ajarannya diremehkan umat Islam justru turut
ambil bagian.
Contohnya adalah konflik Tanjung Priok saat
kemarahan masyarakat disebabkan oleh seorang tentara masuk ke masjid tanpa
melepas sepatu, kartun nabi yang dibuat di Denmark, atau masalah film fitnah di
Belanda. Konflik tersebut menyulut kemarahan masyarakat muslim di berbagai
belahan dunia, sebagai bukti kecintaan mereka kepada Nabi dan Islam.
Namun mengenai banyak orang tidak
melaksanakan sholat maupun kemaksiatan yang merajalela, jarang ada yang berani
atau sekadar menunjukkan penentangannya sebagai bukti kecintaan terhadap Islam.
Bahkan ia sendiri terkadang berada di barisan penghancur Islam. Lebih lanjut,
masyarakat Islam begitu mudah dimobilisasi atas nama agama. Konflik Maluku atau
Poso, semula hanya merupakan konflik pemuda tanpa sangkut paut agama, berubah
menjadi perang antar agama yang menakutkan (Lloyd & Smith, 2001: 247).[34]
Ditambah lagi, pertarungan tajam antara
kubu Islam dan nasionalis (Pancasila) di Konstituante tidak memperoleh titik
temu, kedua pihak mengalami jalan buntu dalam mencapai kesepakatan merumuskan
ideologi nasional. Setiap kali voting dilakukan antara pihak yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara dengan kelompok yang menginginkan
Pancasila sebagai dasar negara, suara mayoritas yang diperlukan untuk mencapai
konsensus politik tidak tercapai. Bahkan hal tersebut terjadi berlarut-larut,
ditambah kemudian dengan banyaknya anggota Konstituante yang tidak bersedia
lagi menghadiri rapat. Agar dapat keluar dari persoalan politik yang sangat
pelik, atas pertimbangan stabilitas politik serta keamanan nasional, Presiden
Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan
lembaga Konstituante dan menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.[35]
Setelah Orde Lama jatuh dan digantikan Orde
Baru, posisi Islam kembali diperhatikan. Pemerintah Orde Baru memerlukan dukungan
umat Islam dalam upaya melawan komunisme. Muhammadiyah pada waktu itu mendirikan
Komando Keamanan Muhammadiyah (KOKAM) dan NU membentuk Barisan Serba Guna
(Banser). Hal ini dapat dimaklumi karena Soeharto sangat menaruh perhatian
terhadap legitimasi politik di masa kekuasaanya, salah satunya menggunakan
media Islam dan para tokohnya. (Tickamyer & Kusujiarti,2012: 43-44)[36]
Kemudian
setelah posisi Orde Baru semakin kuat, kondisi yang terjasi pada masa Orde Lama
terulang kembali. Orde baru memberikan kekuatan politik dan ekonomi yang lebih
baik kepada kelompok Kristen, China, dan militer. Kelompok China lebih kuat
secara ekonomi dan CSIS yang didirikan oleh Ali Murtopo makin berkembang.
Soeharto pun mulai menggunakan pola pembangunan ekonomi sebagai alat penguat
legitimasinya. Pada saat yang sama, kelompok Islam yang berjasa bebas bagi
Soeharto dalam menghancurkan kekuatan PKI menjadi termarginalkan (Hua, 2009:
198).[37]
Meskipun demikian, posisi umat Islam ternyata masih cukup kuat, Soeharto
memberi kesempatan kelompok Islam untuk bersatu dengan mendirikan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1975. Namun, hal tersebut hanyalah strategi
untuk memunculkan kesan perhatiannya pemerintah terhadap umat Islam. Perpecahan
yang terlanjur terjadi tetap semakin memanas. Nurcholis Madjid bahkan
mengeluarkan pernyataan yang menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu yes to
Islam, no to Islamic party (Assyaukanie, 2009 :55).[38]
Para aktivis mahasiswa juga terpengaruh
dengan perdebatan itu seperti HMI yang kemudian terpecah menjadi dua yaitu HMI
DIPO dan HMI MPO. Menyikapi suasana yang tidak sehat tersebut, para ilmuwan dan
intelektual muslim mencari solusi. Mereka mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) di Malang, pada 8 Desember 1990. Mereka ingin mengesankan
Islam dalam bentuk yang lebih eksis, terprogram, dan mampu mengikuti
perkembangan zaman. Lebih utama bahwa Islam mendorong pengembangan ilmu
pengetahuan. Rencana ini berjalan semakin lancar dengan keterlibatan B.J
Habibie yang merupakan seorang menteri populer pada waktu itu, sekaligus vokal
menyuarakan kerjasama antara pemerintah dengan kelompok Islam (Salim &
Azra, 2003: 155).[39]
Dalam perkembangannya, organisasi ini
banyak dipengaruhi oleh sikap anggota yang tidak kooperatif terhadap
pemerintah. Pada tahun 1993 misalnya, Amien Rais melakukan gerakan mengkritik
pemerintah secara masif. Menurutnya, Indonesia mengalami persoalan serius
berkenaan dengan sistem pemerintahan, KKN yang merajalela, dan kebijakan yang
jarang berpihak kepada rakyat. Dalam
sistem pemerintahan, menurut Amien Rais, sistem pemerintahan terpusat harus
digantikan dengan federalisme karena hanya menguntungkan pusat. Perasaan tidak
adil dari daerah-daerah menimbulkan gejolak. Begitupun dengan KKN, banyak kroni
Soeharto yang menjadi pejabat melakukan korupsi. Hal ini tentu membahayakan
negara, apalagi pembangunan ditopang dari hutang. Perhatian pemerintah lebih
kepada persoalan makro dan melupakan masalah keadilan ekonomi, dalam arti
pemerataan pembangunan. Amien Rais mengenalkan konsep tauhid sosial, dan amar
ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, Islam tak hanya dipahami dalam artian
normatif tetapi harus operasional, tidak hanya sekadar pribadi tetapi juga
untuk masyarakat. Meskipun seseorang telah dapat dibilang soleh tetapi merasa
aman dari kemungkaran yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, maka akibat dari
kejahatan di sekitarnya akan tetap ia rasakan. Oleh karena itu, perlu adanya
transformasi intelektual secara masif di tengah masyarakat untuk mewujudkan
rasa keadilan (Saleh, 2001: 188).[40]
D.
PENURUNAN DUKUNGAN
PARTAI POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Meski sebagai negara dengan mayoritas
penduduk Islam dan keberadaan Islam sudah mengalami sejarah panjang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, baik sebelum kemerdekaan maupun pasca
kemerdekaan, namun dalam hal politik Islam rupanya seringkali disingkirkan. Sebelum
kemerdekaan, ada banyak kerajaan Islam seperti Perlak, Samudra Pasai, Demak, Mataram,
Banten, Cirebon, Goa Tallo, Ternate Tidore, Banjar, dll., tetapi setelah
kemerdekaan, hampir semua kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada Islam.
Bahkan pada Orde Baru, Kikue Hamayotsu menjelaskan bahwa karakter politik
Indonesia adalah politik “anti-Islamic” dan lebih dekat dengan barat (Hamayotsu,
2002: 369).[41]
Pada awal masa reformasi 1998, perkembangan
partai Islam meningkat pesat. Jika sebelumnya kekuatan hanya ada di PPP, ICMI, serta
dua organisasi Islam yaitu NU dan Muhammadiyah, maka sejak reformasi muncullah
beberapa partai Islam baru seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
dll. Beberapa gerakan dan kelompok Islam pun lahir dan berkembang pesat seperti
Hidayatullah, Hizbuttahrir, Salafi, Laskar Pembela Islam (LPI), Laskar Jihad, Laskar
Mujahidin Indonesia, dll (Hasan, 2006: 13).[42]
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Vali Nasr
yang menyatakan bahwa penarikan militer dari politik Indonesia, merupakan kesempatan
besar bagi kelompok Islam untuk melakukan manuver dalam politik (Nasr, 2005)[43].
Momentum reformasi adalah kesempatan kaum muslim untuk mengekspresikan ideologi
yang lama mereka pendam seperti Wahabism, Ikhwanul Muslimin, Jamaát Movement,
Iranian Revolution, dll. Pun demikian dalam perolehan suara pemilu tahun 1999
dan 2004, partai-partai Islam masih mendapatkan posisi penting di hati rakyat.
Namun pada 2009, turun secara signifikan. Jika pada tahun 2004, partai Islam bisa
mendapatkan suara sebesar 38,1 persen misalnya, maka pada 2009, terjun bebas
menjadi 27,8 persen saja (Mietzner, 2009: 12).[44] Dukungan tersebut sekarang menjadi lebih
rendah dari yang mereka dapatkan pada saat puncak kemenangan partai Politik
Islam pada awal reformasi tahun 1999.
Penurunan suara partai Islam ini justru
diikuti dengan tingginya dukungan rakyat terhadap partai-partai nasionalis dan
sekuler, seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat. Golkar mendapatkan posisi bertahan
22 persen suara pada tahun 1999 dan 2004, PDIP memperoleh 34 persen pada pemilu
1999 dan 19 persen pada pemilu 2004. Stagnansi suara pada pemilu 2004
diperkirakan karena munculnya partai Demokrat yang pada waktu itu mendapatkan 7
persen suara. Namun demikian, pada pemilu 2009, suara Demokrat melonjak menjadi
21 persen, dan membuat suara Golkar dan PDIP turun menjadi 14,4 persen dan 14
persen (Fealy, 2009).[45]
Secara umum, ada dua faktor yang
menyebabkan kemunduran partai Islam tersebut, baik internal maupun eksternal.
Dalam aspek internal, beberapa hal yang menghalangi partai Islam untuk menang
dalam pemilu di Indonesia, di antaranya: Pertama,
berkaitan dengan karakter pemahaman Islam di Indonesia. Selama ini Islam lebih
banyak dimaknai dalam artian ritual dibandingkan dengan pelibatan agama dalam
semua dimensi kehidupan. Jika dihubungkan dengan pendapat Peter Mandavelle,
maka penurunan dukungan terhadap partai Islam di Indonesia bisa dimaklumi.
Dalam bukunya, ia berargumen bahwa meskipun di negara mayoritas Islam akan
relevan dalam kehidupan politik mereka. Lebih lanjut, ia menggambarkan beberapa
kondisi yang berkaitan dengan politik Islam, antara lain pemahaman teologi yang
tekstual, atau kooptasi kekuasaan terhadap agama dan pengalaman sekuler dari
kehidupan seseorang yang seringkali membuat jauhnya agama dari politik
(Mandavelle, 2007: 2 & 14).[46] Douglas E. Ramage pun menjelaskan bahwa,
sebagai bangsa yang multikultural, Indonesia telah mengambil pilihan yang tepat
untuk menjadikan Pancasila sebagai jalan kompromi perdebatan antara kelompok
Islamis dengan sekuler pada era awal kemerdekaan Indonesia (1995: 1).[47]
Kedua, kemunduran
dukungan terhadap partai Islam disebabkan perpecahan yang terjadi di antara
umat Islam sendiri. Clifford Geertz menggambarkan perpecahan ini dengan membagi
kelompok Islam Indonesia menjadi kelompok abangan, priyayi, dan santri (Suryadinata,
2002: 6).[48]
Bahkan dalam artian politik, Zachary Abusa mengklasifikasikan gerakan Islam di
Indonesia menjadi beberapa jenis, seperti gerakan khalifah, pendirian negara
Islam, dan kelompok pluralis demokrasi (2007: 10).[49] Secara sederhana kelompok tersebut terbagi
menjadi dua golongan, yaitu kelompok pro demokrasi dan anti demokrasi Kelompok
yang mendukung demokrasi adalah mereka yang tergabung dalam partai-partai Islam
seperti PKS, PPP, PBB, PBR, PAN dan PKB. Sementara kelompok yang menentang
demokrasi meliputi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Salafi, dan Hizbut
Tahrir (Kunkler & Stepan, 2013: 122-123).[50]
Karena perbedaan pola gerakan antara yang mendukung dan menolak demokrasi, maka
seperti dapat dilihat di lapangan, antara satu kelompok dengan lainnya pun
belum maksimal dalam menyinergikan gerakan dakwah mereka. Tak jarang, di antara
sesama mereka membongkar aib dan kelemahan kelompok yang lain. Oleh karena itu,
wajar ketika muncul pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi membuat umat Islam
terpecah belah. Bahkan di antara sesama kelompok pendukung demokrasi sendiri
terjadi perbedaan pendapat, perihal masyarakat Islam di Indonesia cenderung
memilih partai berdasarkan kedekatan kultural. Kelompok Nahdiyin memilih partai
yang berlatar belakang NU, begitu juga dari kelompok Muhammadiyah cenderung
kepada PAN. Kelompok Islam abangan bahkan lebih memilih partai-partai
nasionalis dibandingkan partai Islam (Denny J.A., 2006: 219).[51]
Ketiga, ketidakmampuan partai-partai Islam untuk
menyelesaikan persoalan riil yang terjadi di tengah masyarakat, seperti isu kemiskinan,
pengangguran, dan lain-lain. Walaupun partai-partai sekuler kondisinya hampir
sama tetapi mereka mampu menampilkan diri dengan lebih menarik. Dalam konteks
ini, partai Islam di Indonesia belum mampu menyaingi partai-partai sekuler
dalam hal menjual platform partai (Nasr, 2005 :17).[52]
Di antaranya, partai-partai tersebut mulai membuat berbagai wadah keagamaan
yang memungkinkan kelompok Islam untuk mengekspresikan kepentingan mereka.
Aspek publikasi program partai sekuler pun berjalan mulus. Hal ini dikarenakan
mereka mampu menampilkan berbagai program yang dinilai lebih feasible dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi, menurut hasil survey LSI
masyarakat tidak lagi menjadikan agama sebagai landasan mereka dalam menentukan
pilihan, melainkan atas pilihan rasional demi kepentingan mereka, terutama
dalam aspek ekonomi dan kesejahteraan (Tanuwijaya, 2010: 34-35).[53]
Hal ini menyebabkan partai-partai politik Islam semakin kalah bersang dengan
partai-partai sekuler (nasionalis).
Selain itu, berbagai faktor eksternal juga
memberikan peran dalam penurunan dukungan terhadap partai Islam, di antaranya
adalah: Pertama, opini publik
yang dibangun oleh media massa ternyata kurang menguntungkan partai Islam.
Berbagai opini tersebut membuat gerakan Islam mendapatkan image tidak
begitu baik di tengah masyarakat. Berbagai kelompok Islam identik dengan tindak
kekerasan, terorisme, dan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri di tengah
perkembangan zaman. Contohnya seperti isu GAM yang dinilai menjadi masalah
berkepanjangan di tanah Aceh karena keinginan mereka untuk menerapkan syariat
Islam. Demikian juga dengan berbagai tindakan brutal dan cenderung melakukan
kekerasan yang dilakukan oleh Front Pembala Islam (FPI), Laskar Jihad (LK), dan
Jama’ah Islamiah. Meskipun gerakan-gerakan tersebut tidak secara langsung
berkaitan dengan partai Islam, tetapi posisi mereka bisa mempengaruhi penilaian
masyarakat pada umumnya dalam mempersepsikan Islam (Lee, 2004: 103-104).[54]
Hal ini juga memperburuk citra aktivis-aktivis Islam bisa dianggap bagian dari
perkembangan isu-isu terorisme sehingga melemahkan partai Islam dalam politik.
Termasuk juga pandangan buruk masyarakat terhadap eksistensi partai politik
Islam
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh LSI,
terdapat indikasi bahwa politik Islam mengarah pada konservatisme dan kekerasan
dalam politik. Hal ini dinilai akan menciderai semangat pluralisme di tengah masyarakat.
Apalagi, tidak sedikit dari kelompok Islam tersebut yang menolak proses politik
demokrasi dengan media partai. Pada akhirnya, hal ini pun memperlemah dukungan
terhadap partai Islam. Sementara itu, partai-partai sekuler dengan sigap
mencoba mengambil hati pemilih muslim, seperti berkoalisi dengan partai-partai
Islam (Mustarom & V. Arianti, 2009: 1-2).[55] Kedua, sistem pendidikan dan sejarah
politik Indonesia yang cenderung sekuler. Sejauh ini, pendidikan Indonesia
tidak terlalu banyak memberikan perhatian dalam persoalan keagamaan. Indonesia
sudah merasa mapan dengan Pancasila, yang dinilai mampu menyatukan semua
golongan dan agama. Oleh karena itu, meskipun peran Islam terhadap kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia sangat besar, pendidikan tetap
diarahkan kepada semangat nasionalisme dan kebersamaan semua golongan. Catatan
sejarah Indonesia lebih banyak menempatkan militer sebagai pahlawan dalam
perebutan kekuasaan, bukan para ulama yang selama ini telah mengobarkan
semangat jihad di tengah masyarakat yang berasal dari berbagai daerah seperti
Aceh, Sumatera Barat, Banten, Demak, Makasar, dan sebagainya. Akibatnya, sekian
lama Indonesia dibayangi persoalan demokratisasi karena adanya dwifungsi ABRI
yang begitu kental dalam dunia politik dan bisnis di Indonesia. Meskipun
reformasi 1998 menjadi momentum perubahan peta dan warna politik Indonesia,
kenaikan sesaat dukungan partai Islam pun tidak bertahan lama.[56]
Dalam kondisi yang demikian itu, maka ceruk
suara umat Islam tidak lagi bisa dimonopoli oleh partai Islam. Partai Islam
tidak bisa lagi mengaku menjadi partai yang memperjuangkan aspirasi Islam, karena
hampir semua partai mengakui memperjuangkan dan mengakomodir aspirasi yang
sama. Tampaknya, pemikiran Cak Nur pada tahun 1970-an yang menyatakan bahwa
“Islam Yes, Partai Islam No!”, menemukan relevansi dan kontekstualisasinya pada
masa kini. Dan menurut MC Ricklefs, kecenderungan pendirian sayap Islam dalam
partai-partai nasionalis itu merupakan bentuk nyata dari Islamisasi yang
terjadi di Indonesia yang tidak bisa dibendung.[57]
Islamisasi dalam pengertian yang luas yang
berarti semakin menguatnya simbol-simbol Islam dan pemakaian identitas Islam
dalam politik ini, tentu memberikan dampak yang serius pada perolehan suara
partai Islam ke depan. Mereka tentu harus memikirkan strategi agar identitas
mereka sebagai partai Islam tetap menjadi daya jual yang bisa menarik para
pemilih. Partai-partai Islam juga harus merumuskan jalan baru agar mereka bisa
bersaing dengan partai-partai nasionalis lainnya serta bisa berkontribusi pada
masa depan bangsa ini.[58]
E. MENEMUKAN DAN MERUMUSKAN JALAN BARU
PARTAI POLITIK ISLAM
Performa dan problem-problem yang dihadapi
partai-partai Islam hari ini hendaknya tidak menjadikan mereka berkecil hati.
Mereka harus tetap optimis menatap ke depan dan berusaha semaksimal mungkin
untuk melakukan perbaikan-perbaikan agar partai Islam ke depan menjadi lebih
baik. Partai Islam seyogyanya juga tidak menanggapi hasil-hasil survei dengan
menggunakan teori konspirasi yang menyatakan bahwa hasil survei itu didesain
sedemikian untuk memojokkan dan membuat “kuburan” bagi partai-partai Islam.
Partai Islam justru harus menanggapi survei itu sebagai sarana untuk intropeksi
dan refleksi diri agar melangkah ke depan dengan lebih baik lagi. Visi ke depan
partai Islam harus dibangun dan problem-problem yang telah diulas di atas
dijadikan tantangan yang harus ditaklukkan. Sudah tidak saatnya lagi partai
Islam hanya sibuk berteori konspirasi dan mengutuk kegelapan, mereka harus
berani mengoreksi diri dan membangun harapan baru. Untuk membangun optimisme dan jalan baru partai Islam
itu, dibutuhkan
langkah-langkah strategis ke depan. Jalan baru yang segera harus dilakukan partai Islam adalah perumusan visi
strategis tentang masa depan bangsa ini ke depan. Visi strategis harus dirumuskan bersama untuk melihat dan melakukan prediksi bagaimana
kondisi bangsa Indonesia ke depan. Dengan perumusan visi strategis ini, partai
Islam akan bisa mengetahui apa saja problem riil masyarakat Indonesia hari ini
dan bagaimana cara menjawabnya. Selain itu, mereka juga bisa mengetahui
bagaimana peluang dan tantangan baik dalam soal politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan pertahanan yang ada pada bangsa Indonesia. Dengan visi strategis
ini, partai Islam akan bisa merumuskan isu-isu yang bisa diperjuangkan dalam
kampanye dan bisa meyakinkan publik tentang pentingnya mengadvokasi isu-isu
tersebut. Membuat visi strategis tentang masa depan bangsa ini tentu tidak
mudah, namun dengan berusaha membuatnya partai Islam akan mampu
menataptantangan masa depan yang lebih kongkrit dan tidak terjebak pada masa
lalu. Dalam konteks global, partai Islam tidak hanya berorientasi pada,
meminjam istilah James Piscatori—imagining
Pan Islamism-
terus menerus.[59]
Namun
partai politik Islam harus mampu menatap tantangan globalisasi (kemajuan zaman)
dan bagaimana memanfaatkan peluang adanya globalisasi untuk kemajuan bangsa
Indonsia dan umat Islam. Pada konteks secara lokal dan nasional partai politik
Islam tidak terus menerus terjebak pada isu-isu massa tradisional Islam
(konservatif), isu syariat Islam dan isu negara Islam dan lain-lainnya. Setelah
partai politik Islam merumuskan visi dan misi strategis partai Islam harus
bergerak dan memperjuangkan isu-isu kebijakan publik yang terkait dengan
kepentingan masyarakat Indonesia. Partai politik Islam harus mampu mengambil
dan menjadi problem solving terhadap isu-isu populis yang terkait kepentingan
masyarakat Indonesia. Seperti soal kemadirian dan ketahanan pangan, kenaikan
subsidi BBM, subsidi pertanian, pendidikan sekolah yang murah, jaminan sosial
tenaga kerja, jaminan kesehatan masyarakat dan sebagainya. Isu-isu politik yang terkait dengan pengangguran
masyarakat, kaum miskin desa dan kota. Tentu masyarakat Indonesia akan bisa
lebih mengeapresiasi perjuangan partai politik Islam. Hal itu juga lebih
strategis dan konkrit bagi pemilih di Indonesia. Dibandingkan dengan Isu-isu
yang kental dengan penggunaan simbol-simbol Islam.
Langkah-langkah
strategis Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP/ Adalet ve
Kalkinma Partisi) di Turki tentu bisa dijadikan perbandingan yang
sangat berharga. AKP belajar dari kegagalan Partai Kesejahteraan (Welfare Party) di bawah pimpinan Perdana Menteri Necmettin Erbakan
yang dikudeta oleh militer pada tahun 1997. Kudeta saat itu dilakukan karena
partai Erbakan dianggap mengancam keberlangsungan sekularisme di Turki dengan
agak gegabah mengangkat tema-tema Islam dan memutar kembali revolusi Kemalis.[60] Di
bawah pimpinan Presiden Abdullah Gull dan Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan,
AKP menampilkan diri sebagai partai pilihan kaum muda terdidik dan berjuang
bersama mereka yang tertindas dalam masyarakat, seperti kaum miskin kota.
Menurut Vedi R Hadiz, AKP juga menanggalkan bahasa politik Islam, merangkul
demokrasi dan kapitalisme pasar, serta mengakomodasi demokrasi “model Turki”.
Upaya ini mereka lakukan untuk mendapatkan dukungan luas dari publik di tengah
kekuatan pendukung Kemalis dan militer yang masih kuat di sana.[61]
Dalam Konteks Indonesia, Dukungan partai politik Islam dalam menyikap isu-isu
publik ini bisa dijadikan alat negosiasi dengan masyarakat Indonesia. Partai
politik Islam juga bisa memberikan solusi terhadap isu-isu publik tersebut yang
selama ini terjadi. Ditengah kondisi yang makin menguatnya Masyarakat
Indonesia yang trauma dengan tema-tema syariat Islam dan bayangan ancaman
Negara Islam Indonesia yang sekarang yang sering didengungkan HTI dengan
konsepnya Khilafahnya terutama bagi kaum minoritas non-muslim di Indonesia.
Partai politik Islam harus menguatkan basis
dukungan di tingkat lokal (daerah) dan akar
rumput (masyarakat bawah) dengan membuat program-program substansial dan
pro terhadap kepentingan rakyat. Di tengah kondisi apatisme politik yang tinggi
dari masyarakat karena banyaknya kasus korupsi yang menimpa para elit politik
di tingkat nasional, maka harapan yang masih ada adalah para pemimpin di
tingkat lokal. Para pemimpin di tingkat lokal adalah harapan masa depan bangsa.
Oleh karena itu, Partai Islam harus memperhatikan dukungan di tingkat lokal dan
akar rumput ini dengan membuat program-program pendampingan di tingkat lokal.
Model-model gerakan partai Islam masa revolusi seperti yang dilakukan oleh
Syarikat Islam (SI) patut dipertimbangkan kembali. Begitu juga model-model
kerja partai yang berbasis komunitas seperti yang dilakukan oleh PKI juga patut
untuk dipelajari. Pada masanya, kedua partai itu terus menerus terlibat dalam
kehidupan rakyat di tingkat lokal dan akar rumput serta berusaha melakukan
pendampingan-pendampingan kongkrit. Itu sangat berbeda dengan partai-partai
sekarang, termasuk partai-partai Islam, yang hanya akan turun ke rakyat dan
lapangan ketika terjadi bencana. Itu pun kadang-kadang lebih banyak bendera
partainya dibandingkan kerja-kerja kongkrit dan bantuan yang diberikan. untuk
membawa misi Islam yang harus mendampingi rakyat kecil dan memberi jawaban
untuk mereka itu.[62] Yang juga tak kalah penting, partai Islam hendaknya tidak menjadikan paradigma kekuasaan sebagai
satu-satunya tujuan dan tolok ukur keberhasilan. Sebagaimana diungkapkan oleh
almarhum Cak Nur, menjadi oposisi sebetulnya sama mulianya dengan duduk di
pemerintahan. Bahkan, menjadi oposisi bisa lebih mulia dan mengakar ke bawah.[63] Terlepas dalam persoalan partai politik Islam ikut
berkuasa atau menjadi oposisi. Tugas utama parpol Islam yang harus dikerjakan
adalah lebih menfokuskan pelaksanaan program-program yang mengakar, konkrit dan
bermanfaat bagi masyarakat umum.
Partai Islam hendaknya mampu menyikapi
keterbukaan ideologi partai Islam ini merupakan sesuatu yang realistis, menurut
Bima Arya, bahwa partai-partai Islam untuk meningkatkan performa elektoral
sangat ditentukan kemampuannya dalam merekonstruksi diri ditengah-tengah realitas
psikis bangsa ini. Partai Islam harus mengedepankan agenda-agenda kongkrit
langsung bersinggungan dengan kepentingan publik ketimbang mengusung
wacana-wacana ideologis seperti formalisme syariat agama, partai Islam tidak
punya pilihan lain kecuali bergerak di isu-isu kongkrit seperti kesejahteraan,
penegakan hukum dan anti korupsi. Partai Islam memiliki modal strategis untuk
meraih kepercayaan publik, karena memiliki otoritas moral dan legitimasi
religius yang tidak dimiliki partai-partai nasionalis.[64]
Para
politisi Partai Islam ke depan, seyogyanya juga bisa tampil sebagai
“Muslim
Democracy”
sebagaimana dikonsepkan oleh Vali Nasr. Menurut
Vali Nasr, “Muslim Demokrasi” adalah seorang politisi
Muslim yang bisa melihat politik dengan kacamata yang pragmatis
untuk kepentingan kestabilan negara guna melayani kepentingan individu
dan kepentingan kolektif. Mereka tidak lagi mendefinisikan syariat
Islam secara rigid, dan tidak juga berperilaku seperti kaum Islamis yang
melihat demokrasi sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan dalam membangun
sebuah negara Islam atau sistem Islam.[65]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Makalah ini menjelaskan Sejarah panjang dan
problem perjalanan partai politik Islam dalam mengikuti dinamika demokrasi di
Indonesia dari waktu ke waktu. Terlihat keberadaan posisi partai politik Islam
dalam dinamika demokrasi di Indonesia tidak mudah. Partai politik Islam dihadapkan
pada berbagai realita yang tidak hanya menuntut wacana tapi juga harus ada aksi
nyatanya. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah, bagaimana mengimplementasikan
nilai-nilai islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun negara
Indonesia bukan negara Islam paling tidak partai Islam bisa melebarkan sayapnya
dengan melakukan terobosan-terobosan baru dimana program-programnya pro rakyat
dan tanggap terhadap perkembangan isu-isu nasional yang sedang berkembang.
Program-program yang dijalankan partai
politik Islam seharusnya mampu mengakar dikalangan masyarakat lokal dan
masyarakat kelas bawah sampai akar rumputnya yang masih membutuhkan bantuan
kesejahteraan. Hal itu tentu lebih konkrit dan realistis dijalankan oleh partai
politik Islam. Partai politik Islam juga harus tahu dalam memposisikan dirinya
dalam persoalan kebangsaan dan menjawab tantangan kebangsaan dan era globalisasi.
Partai Politik Islam akan sangat disegani
apabila memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai Islam dalam membangun
peradaban bangsa Indonesia. Sungguh begitu luar biasanya sejarah partai politik
Islam dalam membangun bangsa Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia akan
melakukan dukungan pada partai politik Islam jika benar-benar menunjukkan implementasi
nilai-nilai Islam dalam aksi nyatanya
dengan ditapak tilasi dengan sistem, manajemen dan komitmen moral kuat.
B.
SARAN
Setelah
penjabaran mengenai peranan Partai Politik dalam menghadapi dinamika demokrasi
di Indonesia. Penulis menyarankan bagi anggota partai politik Islam selalu memiliki
kepekaan sosial terhadap isu-isu publik yang sedang berkembang dan pro rakyat.
Partai politik Islam juga harus bisa lebih terbuka (inklusif) terhadap perkembangan IPTEK karena kita tidak
mengelakkan akan hal itu dimana sekarang kita sudah berada pada era
globalisasi. Sebagai partai politik Islam jangan selalu terpaku pada hal-hal
mengaitkan dengan simbol-simbol Islam seperti Isu-isu tradiosional Islam,
syariat Islam dan negara Islam Indonesia dan lain-lainnya.
Terlepas
partai politik Islam berada pada kekuasaan atau oposisi, partai politik islam seharusnya
harus mampu menjadi tempat mediasi dan negosiasi bagi masyarakat Indonesia
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan bangsa dan negara ini.
Program-program dijalankan partai politik Islam harus ditunjukkan secara
konkrit dan nyata dimana masyarakat Indonesia sekarng tingkat kemiskinan dan
penganggurannya masih tinggi.
Partai
politik Islam dalam menampilkan sesuatu harus menunjukkan dirinya sebagai
partai solutif ditengah muaknya masyarakat Indonesia terhadap tingkah
partai-partai korup. Hal itu lebih realistis daripada hanya berkutat isu-isu
yang kental dengan simbolis Islam sehingga masyarakat Indonesia begitu majemuk
akan keanekaragaman budaya dan agama bisa lebih mengapresiasi keberadaan partai
politik Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abusa, Zachary.
(2007). Political Islam and Violence in Indonesia. New
York:Roudledge.
Afan Gaffar, Politik
Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006)
Altman, David. (2011). Direct Democracy Worldwide.
New York: Cambridge University Press.
Anas Urbaningrum,
Islam-Demokrasi : Pemikiran Nurcholia Madjid. (Jakarta : Penerbit
Republika, 2004).
An-Na’im,
Abdullahi Ahmad. (2008). Islam and The Secular State, Negotiating The Future
of Shari’ah. USA: President and Fellow of Harvard College.
Assyaukani, Luthfi.
(2009). Islam and The Secular State in Indonesia. Singapore:ISEAS
Publication.
Azra, Azyumardi, ‘Political Islam in
Post-Soeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal (editors), Islamic
Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS, 2004
Azra, Azyumardi.
(2006). Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta:
Solstice Publishing.
Baswedan, Anies
Rasyid, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, Asian
Survey, Vol. 44, No. 5 (Sep-Oct 2004), hal. 669-690.
Baswedan, Anies
Rasyid. (2004). Political Islam in Indonesia, Present and Future Trajectory.
Asian Survey. September/ October, Vol.XLIV, No.5. ISSN 0004-4687,
electronic ISSN 1533-838X. The regents of the University of California,670.
Bima Arya. Re-Kontekstualiisasi
Partai-Partai Islam dalam Bima Arya, Anti Partai (Depok : Gramata Publishing, 2010)
Campbell,
Tomp Campbell. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, dan
Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius.
Effendy,
Bahtiar, ‘Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam
and the State in Indonesia, Ohio & Singapore: Ohio University Press and
ISEAS, 2003.
Eliraz, Giora.
(2004). Islam in Indonesia, Modernism, Radicalism, and the Middle East
Dimension. UK: Sussex Academic Press.
Fanani, Ahmad Fuad
& Muhd. Abdullah Darraz,Jurnal Maarif
Institute, Vol.8, No.2 – Desember 2013 ISSN : 1907-8161
Fealy,
Greg, (2009), Indonesia’s Islamic Parties in
Decline, (Online), (http:// inside.org.au/indonesia%E2%80%99s-
Islamic-parties-in-decline/
Gili Argenti & Maulana Rifai,
Jurnal ilmiah Solusi Vol. 1 No. 4 Desember 2014 – Februari 2015
Grigsby, Ellen. (2011). Analyzing Politics:
AnIntroduction to Political Science. USA: RRD Crawfordsville. Verba, Sidney. (1969). Thoughts about Political
Equality What Is It? Why Do We Want It?. (Online). (www.hks.harvard.edu/inequality/Summer/Summer01/papers/Verba.pdf)
Hadiz, Vedi R,
‘Tanpa “Manisan” Turki: Kebuntuan Politik Partai Islam di Indonesia’, Prisma:
Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol. 31, No. 1, 2012
Hamayotsu,
Kikue. (2002). Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysiaand
Indonesia in Comparative Perspective. Pacific Affairs, Fall 2002,
Vol. 75 No.3. Pa Pacific Affairs: University of British Columbia,
369.
Hasan,
Noorhaidi, (2006). Laskar Jihad, Islam, Militancy and The Quest for
Identity, In Post New Order Indonesia. Ithaca, NY: Cornell Southeast
Asia Program Publication.
Hasyim, Rosnani.
(2010). Reclaiming The Conversation, Islamic Intellectual Tradition in The
Malay Archipelago. Selangor:Mutiara Majestic.
Hua, Shiping. (2009). Islam and Democratization in
Asia. New York: Cambria Press.
J.A, Denny. (2006). Melewati
Perubahan: Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta:
LKIS.
Kimura, Ehito.
(2013). Political Change and Territoriality in Indonesia, Provincial
Proliferation. New York: Routledge.
Kivimaki, Timo.
(2003). US- Indonesian Hegemonic Bargaining, Strength of Weakness. England:Ashgate
Publishing Limited.
Kunkler, Mirjam & Stepan, Alpred. (2013). Democratization
and Islam in Indonesia. USA: Columbia University Press.
Lee, Jeff.
(2004). The Failure of Political Islam in Indonesia. Stanford Journal of
East Asian Affairs, Vol 4. No.1, Winter 2004. (Online). (http://www.stanford.edu/group/sjeaa/journal41/seasia1.pdf).
Lloyd, Grayson
& Smith, Shannon. (2001). Indonesia Today: Challanges of History.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Madjid,
Nurcholis, Membangun Oposisi, Menjaga Momentum Demokratisasi, Jakarta:
Voice Center Indonesia, 2000
Mandavelle,
Peter. (2007). Global Political Islam.New York:
Routledge.
Mietzner,
Marcus. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From
Turbulent Transition to Democratic Consolidation.Singapore: ISEAS
Publications.
Mustarom, Tuty Raihana & V Arianti. (2009). Declining
Support for Islamic Parties: Exploring
the Indonesia “Paradox”.(Online). (http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/RSIS0432009.pdf).
Nagle, John D
& Mahr, Alison. (1999). Democracy and Democratization. London: SAGE
Publications.
Nasr, Vali. (2005). The Rise of Muslim
Democracy. Journal of Democracy Volume 16, Number 2 April 2005.
Piscatori, James, ‘Imagining Pan Islamism’ dalam
Shahram Akbarzadeh & Fethi Manshuri (editors), Islam and
Political Violence, Muslim Diaspora and Radicalism in the West, London
& New York: Tauris Academic Studies,2007
Platzdasch,
Bernhard. (2009). Islamism in Indonesia: Politics in The Emerging Democracy.
Singapore: ISEAS Publishing.
Rais, M. Amin. 1998. “Masalah-masalah
yang Dihadapi Bangsa Indonesia,” Milenium: Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor
1 Tahun 1, Januari-April 1998.
Ramage, Douglas E. (1995). Politics
in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance. London: Routledge.
Rapar, J. H.1993. Filsafat Politik
Aristoteles. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rickefs, M.C., Islamisation
and Its Opponents in Java, c 1930 to the Present,
Singapore: NUS Press, 2012.
Roy, Olivier.
1994. The Failure of Political Islam. Translated by Carol Volk. USA:
President and Fellows of Harvard College.
Saleh, Fauzan.
(2001). Modern Trend in Islamic Theological Discource in 20th Century
Indonesia: A Critical Study. Leiden: Koninklijke Brill NV.
Salim, Arskal
& Azra, Ayzumardi. (2003). Shari’a and Politics in Modern Indonesia.
Singapore: Institute of South East Asian Studies.
Shapiro, Ian. (1996). Democracy’s Place. USA:
Cornell University Press.
Soebagio. (2008). Implikasi Golongan Putih dalam
Perspektif Pembangunan Demokrasi Indonesia. Jurnal Makara, Sosial Humaniora
Vol.12 No.2 Desember 2008. Universitas Indonesia, Jakarta. (Online).
(http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/171/167).
Suryadinata, Leo. (2002). Election
and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of South East Asian
Studies.
Tanuwijaya, Sunny. (2010). Political Islam and Islamic
Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political
Decline. Contemporary Southeast Asia
Vol. 32 No. 1 April 2010.
Tickamyer, Ann R
& Kusujiarti, Siti. (2012). Power, Change and Gender Relations in Rural
Java, A Tale of Two Villages. USA:Ohio Univerity Research.
Yumitro, Gonda. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 ISSN 1410-4946
Zuly Qodir, HTI
Dan PKS Menuai Kritik : Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia. (Yogyakarta
: JKSG, 2013)
[1]Ahmad Fuad Fanani & Muhd.
Abdullah Darraz,Jurnal
Maarif Institute, Vol.8, No.2 – Desember 2013 ISSN : 1907-8161, hlm.4
[2]Zuly Qodir, Sosiologi Politik Islam :
Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2012) hlm.151
[3]Azyumardi
Azra, ‘Political Islam in Post-Soeharto Era’, dalam Virginia Hooker dan Amin
Saikal (editors), IslamicPerspectives on the New Millenium, Singapore:
ISEAS, 2004, hlm.140-141.
[4] Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi :
Pemikiran Nurcholia Madjid. (Jakarta : Penerbit Republika, 2004) hlm.73.
[5] Anies
Rasyid Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’,
Asian Survey, Vol. 44, No. 5 (Sep-Oct 2004), hal. 672-674. Greg Fealy
secara garis besar membagi Partai Islam menjadi dua: pertama, pluralist Islamic
parties (Partai Islam Pluralis) yang beraskan Pancasila namun menampilkan
identitas Islam dan berbasis pada massa Islam seperti PKB dan PAN. Yang kedua,
Islamist parties (Partai Islamis), yaitu partai yang beraskan Islam dan
mendukung ide-ide formalisasi syariat Islam dan amandemen UUD 1945 yang
memasukkan Piagam Djakarta. Yang masuk dalam kategori ini adalah: PPP, PKS, dan
PBB. Lihat Greg Fealy, ‘Divided Majority, Limits of Indonesian Political
Islam’, dalam Shahram Akbarzadeh dan Abdullah Saeed (editors), Islam and
Political Legitimacy, London and New York: RoutledgeCurzon, 2003, hlm.
164-165.
[6] Gili
Argenti & Maulana Rifai, Jurnal ilmiah Solusi Vol. 1 No. 4 Desember 2014 –
Februari 2015 hlm.11
[7]Bahtiar
Effendy, ‘Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postcript’, dalam Islam
and the State in Indonesia, Ohio &Singapore: Ohio University Press and
ISEAS, 2003. Untuk pembahasan yang bagus mengenai gerakan radikal ini, lihat M
Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan
ProspekDemokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.
[8] Gonda
Yumitro, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 ISSN 1410-4946, hlm.36
[9] “Pemilu
2014, Partai Islam Bakal Keok”, Tempo, 15 Oktober 2012, Lihat juga “LSI:
Popularitas Partai dan Capres Islam Tokoh Islam Semakin Suram”, www.detik.com,
14 Oktober 2012.
[10] “Merosotnya
Suara Partai dan Tokoh Islam di Pemilu 2014”, www.indonesiamedia.com, 18 Maret
2013. Lihat juga “Prediksi Nasib Partai di Pemilu 2014”, www.actual.co, 15
Maret 2013.
[11] Dalam survei LSI
Network pada bulan Maret 2013, 4 besar kandidat Capres adalah: Megawati 20,7 %,
Aburizal Bakrie 20,3 %, Prabowo 19,2 %, dan Wiranto 8,2 %. Para tokoh Islam
hanya memperoleh dukungan di bawahnya: Hatta Radjasa 6,4 %, Suryadharma Ali 1,9
%, Anis Matta 1,1 %, Muhaimin Iskandar 1,6 %. Lihat “Merosotnya Suara Partai
dan Tokoh Islam di Pemilu 2014”, www.indonesiamedia.com, 18 Maret 2013.
[13] Tomp
Campbell Campbell, 1993, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, dan
Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, hlm.18-19
[14] M. Amin
Rais. 1998. “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia,” Milenium:
Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor 1 Tahun 1, Januari-April 1998, hlm.6
[15] Ellen Grigsby, (2011), Analyzing Politics: An Introduction to Political
Science, USA: RRD Crawfordsville, hlm.81
[16] Sidney
Verba. (1969). Thoughts about Political Equality What Is It? Why Do We Want
It?. (Online). (www.hks.harvard.edu/inequality/Summer/Summer01/papers/Verba.pdf), hlm.3
[17] David
Altman, (2011), Direct Democracy Worldwide, New York: Cambridge
University Press, hlm.40-41
[19] Bernhard Platzdasch, (2009), Islamism in Indonesia: Politics in The Emerging
Democracy, Singapore: ISEAS Publishing, hlm.xi
[20] Olivier Roy, 1994, The Failure of Political Islam,
Translated by Carol Volk. USA: President and Fellows of Harvard College.
[21] Anies
Rasyid Baswedan, (2004), Political Islam in Indonesia, Present and Future
Trajectory, Asian Survey. September/October, Vol.XLIV, No.5. ISSN
0004-4687, electronic ISSN 1533 838X. The danregents of the University of
California, hlm.670.
[22] Gonda
Yumitro, Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (35-50) ISSN
1410-4946. hlm.37
[23] Timo Kivimaki,
(2003), US- Indonesian Hegemonic Bargaining, Strength of Weakness. England:
Ashgate Publishing Limited, hlm.17
[24] Mietzner, Marcus. (2009). Military
Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to
Democratic Consolidation. Singapore: ISEAS Publications. hlm.8-9
[25] John D Nagle & Mahr, Alison,
(1999), Democracy and Democratization, London: SAGE Publications, hlm
264-265
[26] Damanik,
Caroline. (2009). Penetapan Jumlah TPS Terkait DPT. (Online).
(http://nasional.kompas.com/read/2009/03/03/ 121258 2 3 / Penetapan
Jumlah.TPS.Terkait.DPT)
[27] Gonda
Yumitro, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 ISSN 1410-4946, hlm.39
[28] Soebagio,(2008),Implikasi
Golongan Putih dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Indonesia, Jurnal
Makara, Sosial Humaniora Vol.12 No.2 Desember, 2008. Universitas
Indonesia, Jakarta. hlm.83-85
[29] Giora Eliraz,(2004),
Islam in Indonesia, Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension, UK:
Sussex Academic Press,hlm.91
[30] Abdullahi
Ahmad An-Na’im, (2008). Islam and The Secular State, Negotiating The Future
of Shari’ah. USA: President and Fellow of Harvard College.hlm.228
[31] Azyumardi
Azra, (2006). Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context,
Jakarta: Solstice Publishing,hlm.204
[32] Ehito
Kimura, (2013), Political Change and Territoriality in Indonesia Provincial
Proliferation, New York: Routledge.hlm.42
[33] Rosnani Hasyim,
(2010), Reclaiming The Conversation, Islamic Intellectual Tradition in The
Malay Archipelago, Selangor: Mutiara Majestic,hlm.189
[34] Grayson
Lloyd & Smith, Shannon, (2001), Indonesia Today: Challanges of History,
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm.247
[35] Afan
Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006).Hal 26
[36] Ann R Tickamyer & Kusujiarti, Siti. (2012). Power, Change
and Gender Relations in Rural Java, A Tale of Two Villages. USA:
Ohio Univerity Research.hlm.43-44
[38] Luthfi
Assyaukani, (2009), Islam and The Secular State in Indonesia, Singapore:
ISEAS Publication,hlm.55
[39] Arskal
Salim & Ayzumardi Azra, (2003), Shari’a and Politics in Modern Indonesia,
Singapore: Institute of South East Asian Studies,hlm.55
[40] Fauzan Saleh,
(2001) .Modern Trend in Islamic Theological Discource in 20th Century
Indonesia: A Critical Study. Leiden: Koninklijke Brill NV,hlm.188
[41] Kikue
Hamayotsu, (2002), Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia and
Indonesia in Comparative Perspective, Pacific Affairs, Fall 2002,
Vol. 75 No.3. Pa Pacific Affairs: University of British Columbia,
hlm.369
[42] Noorhaidi
Hasan,(2006), Laskar Jihad, Islam, Militancy and The Quest for Identity, In
Post New Order Indonesia, Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program
Publication.hlm.13
[43] Nasr, Vali.
(2005). The Rise of Muslim Democracy. Journal of Democracy Volume 16, Number
2 April 2005.
[44] Mietzner,
Marcus. (2009). Military Politics,Islam, and the State in Indonesia: From
Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Singapore: ISEAS
Publications.hlm. 12
[45] Greg
Fealy, (2009), Indonesia’s Islamic Parties in Decline, (Online),
(http:// inside.org.au/indonesia%E2%80%99s- Islamic-parties-in-decline/
[47] Douglas E. Ramage (1995), Politics in Indonesia:Democracy,
Islam, and the Ideology of Tolerance, London: Routledge.hlm.1
[48] Leo
Suryadinata,
(2002). Election and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of
South East Asian Studies. hlm.6
[50] Kunkler,
Mirjam & Stepan, Alpred. (2013). Democratization and Islam in Indonesia.
USA: Columbia University Press.hlm. 122-123
[51] Denny J.A,
(2006), Melewati Perubahan: Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi
Indonesia, Yogyakarta: LKIS.hlm.219
[52] Vali Nasr,
(2005), The Rise of Muslim Democracy. Journal of Democracy Volume 16, Number
2 April 2005,hlm.17
[53] Sunny Tanuwijaya, (2010), Political Islam and Islamic Parties
in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline, Contemporary Southeast Asia Vol. 32 No. 1 April
2010.hlm.34-35
[54] Jeff Lee,
(2004). The Failure of Political Islam in Indonesia, Stanford Journal of
East Asian Affairs, Vol 4. No.1, Winter 2004, hlm.103-104 (Online).
(http://www.stanford.edu/group/sjeaa/journal41/seasia1.pdf).
[55] Tuty
Raihana Mustarom & V Ariant,. (2009), Declining Support for Islamic
Parties: Exploring the Indonesia “Paradox”hlm.,1-2 (Online). (http://www.rsis.edu.sg/publications/
Perspective/RSIS0432009.pdf).
[56] Gonda
Yumitro, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 ISSN 1410-4946, hlm.45-46
[58] Ahmad Fuad Fanani,
Jurnal
Maarif Institute, Vol.8, No.2 – Desember 2013 ISSN : 1907-8161, hlm.87
[59] Lihat
James Piscatori, ‘Imagining Pan Islamism’ dalam Shahram Akbarzadeh & Fethi
Manshuri (editors), Islam and Political Violence, Muslim Diaspora and
Radicalism in the West, London & New York: Tauris Academic Studies,
2007, hlm. 27-38.
[60] Vedi
R Hadiz, ‘Tanpa “Manisan” Turki: Kebuntuan Politik Partai Islam di Indonesia’, Prisma:
Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol. 31, No. 1, 2012, hlm.50.
[62] Ahmad Fuad
Fanani, Jurnal
Maarif Institute, Vol.8, No.2 – Desember 2013 ISSN : 1907-8161, hlm.89-90
[63] Nurcholis
Madjid, Membangun Oposisi, Menjaga Momentum Demokratisasi, Jakarta:
Voice Center Indonesia, 2000, hlm. 8-10
[64] Bima
Arya, Re-Kontekstualiisasi Partai-Partai Islam dalam Bima Arya, Anti
Partai (Depok : Gramata Publishing, 2010), hlm.35.
[65] Vali
Nasr, “The Rise of “Muslim Democracy”, Journal of Democracy, Volume 16,
Number 2, April 2005, hal. 13-15.
BetMGM: Casino in the UK: What to Know before you play
BalasHapusFor a brand new way 스포츠 실시간 점수 벳피스트 놀검소 to get 넷마블머니상 inside a live casino, which can be played with real 알크마르 축구 people 꽁 머니 지급 from around the world, 도레미시디 출장샵 here's what you need to know before