Penanganan Rawan Pangan
PROBLEMATIK PANGAN DI DAERAH
1. Pengertian Ketahanan Pangan
Yoga Pradito W |
a.
Kecukupan (ketersediaan) pangan
b.
Stabilitas ekonomi pangan
c.
Akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk
mendapatkan pangan
Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang
dilegitimasi pada Undang-undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan. Indonesia
memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi
dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau.
Kondisi Ketahanan Pangan yang diperlukan juga mencakup
persyaratan bagi kehidupan sehat. Definisi Ketahanan pangan sebagai termuat
dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 adalah sebagai berikut :
“Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”.
Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa swasembada
merupakan bagian dari ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian ketahanan
pangan dan swasembada secara konsep dapat dibedakan. Kembali lagi ke pengertian
ketahanan pangan yang konsepsinya tidak mempersoalkan asal sumber pangan,
apakah dari dalam negeri atau impor. Ketahanan pangan merupakan sebagian dari
ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian ketahanan pangan dan swasembada
secara konsep dapat dibedakan. Kembali lagi ke pengertian ketahanan pangan yang
konsepsinya tidak mempersoalkan asal sumber pangan, apakah dari dalam negeri
atau impor. Ketahanan pangan merupakan konsep yang komplek dan terkait dengan
mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari distribusi, produksi, konsumsi
dan status gizi.
Konsep ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan
untuk menyatakan ketahanan pangan pada beberapa tingkatan : 1. global, 2.
nasional, 3. regional dan 4. tingkat rumah tangga di tingkat rumah tangga dan
individu.
Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam
beberapa alternatif rumusan :
a. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota
rumah tangga dalam jumlah, mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu
ke waktu agar hidup sehat.
b. Kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan
anggotanya dari produk sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat
hidup sehat.
c. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat (Usep Sobar Sudrajat, 2004).
Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu
ketersediaan dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin,
2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :
a. Pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan
dan minuman.
b. Pangan
olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c. Sistem
pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan
atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran
pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d. Keamanan
pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu
pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.
f. Gizi
pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g. Kemasan
pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik
yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun yang tidak.
h. Ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup.
2. Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui :
a. Produksi
sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA), manajemen dan
pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta aplikasi dan penguasaan teknologi
yang optimal.
b. Import
dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor
perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.
Ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan dan kebijakan tata niaga, atau distribusi pangan dari sentral produksi sampai ketangan konsumen. Akses individu dapat juga ditopang dengan oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih nampak relevan, terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga kebutuhan pokok pada musim tanam atau musim paceklik (Bustanul Arifin, 2004).
3. Pengembangan Ketahan Pangan Khususnya di Tingkat Rumah
Tangga
Pengembangan ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah
tangga, mempunyai prespektif pembangunan yang sangat mendasar karena :
a. Akses
pangan dan gizi seimbang bagi seluruh rakyat sebagai pemenuhan kebutuhan dasar
pangan merupakan hak yang paling asasi bagi manusia
b. Proses
pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat di pengaruhi oleh
keberhasilan untuk memenuhi kecukupan pangan dan nutrisi
c. Ketahanan
pangan merupakan unsur trategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahan tangan
(BKP, 2006).
4. Ketahanan Pangan Terdiri dari Berbagai Elemen :
a. Ketersediaan
pangan
b. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk
menguasai pangan yang cukup
c. Keamanan
yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal
seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan
eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional).
d. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan
ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (Ali Khomsan
dkk, 2004).
5. Situasi Ketahanan Pangan di Indonesia
Ketahanan pangan dan gizi menghendaki pasokan dan harga
pangan yang stabil, merata dan berkelanjutan, serta kemampuan rumah tangga
untuk memperoleh pangan yang cukup, serta mengelolanya dengan baik agar setiap
anggotanya memperoleh gizi yang cukup dari hari ke hari (Suryana, 2004).
Sejak kritis multidimensi tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk
memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang
ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia
yang jumlahnya lebih dari 210 juta jiwa, Indonesia harus mengimpor bahan pangan
seperti beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta ton, kedelai lebih dari 1
juta ton, kacang tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton, ternak
hidup setara 82 ribu ton, daging 39 ribu ton, susu dan produknya 99 ribu ton
per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun
0,38% per tahun, juga beberapa komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi
pertumbuhan permintaan pangan yang terus meningkat dan tidak diikut peningkatan
produksi, bahkan ada peningkatan kecenderungan penurunan. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kebutuhan pangan tidak mampu dipenuhi dari produksi nasional.
Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan harus dipenuhi dari impor. Hal ini
merupakan kondisi yang tidak baik karena impor menguras banyak devisa serta
tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang
(BKP, 2006). Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan
indikasi lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan. Disisi penyediaan
pangan, walaupun saat ini volumenya mencukupi, namun saat ini Indonesia
menghadapi tantangan yang cukup serius yaitu laju percepatan konsumsi, terutama
didorong oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibadingkan laju
pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).
6. Ketahanan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan
dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai
ekonomis beras, sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia,
terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah. Dengan demikian tingkat harga
beras merupakan determinan utama kemiskinan di tingkat rumah tangga. Kebijakan
tentang harga beras merupakan dilema bagi masyarakat baik produsen maupun
konsumen. Harga beras yang tinggi akan merugikan kelompok masyarakat yang murni
sebagai konsumenn seperti masyarakat perkotaan, sedangkan harga beras yang
rendah akan merugikan masyarakat petani di pedesaan sebagai produsen beras
(Timer, 2004).
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi
oleh ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai
dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak
akan tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu
kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini
belum ada cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek
yang berkaitan dengan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor
ketersediaan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor
ketersediaan pangan, akses dan utilisasinya terutama pada kelompok rentan
(Valientes, 2004). Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor
langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan
pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan
pangan pokok (staple food) di rumah kemarin (BKP, 2006).
7. Indikator Ketahanan Pangan
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa
pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator
tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator
dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh
ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator
langsung maupun tak langsung.
Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi
pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan,
pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial.
Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap
kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk
memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability
indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi
pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status
gizi (Ali Khomsan dkk, 2004).
Kerawanan Pangan
Istilah “Rawan pangan” (food insecurity) merupakan
kondisi kebalikan dari ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering
diperhalus dengan istilah “terjadingan penurunan ketahanan pangan”, meskipun
pada dasarnya pengertian sama. Ada
dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food
insecurity) dan bersifat sementara (transitory food insecurity).
Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan
(untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada
kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada
kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan pengertian rawan
pangan akut atau transitory mencangkup rawan pangan musiman. Rawan pangan ini
terjadi karena adanya kejutan yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh
rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga
diperkotaan rawan pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan
pengangguran.
Pengertian Rawan Pangan
Rawan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai utnuk hidup sehat
dan beraktivitas dengan baik utnuk sementara waktu dalam jangka panjang. Kondisi
ini dapat saja sedang terjadi atau berpotensi untuk terjadi (Kompas, 2004).
Rawan pangan juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya mengandung unsur
yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber
daya alam, kekurangan, modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang disebabkan
ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur
yang bersifat dinamin yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang
diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu/rumah tangga
melalui proses pertukaran guna mempengaruhi kebutuhan pangannya.
Ketersediaan pangan
secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di
tingkat
mikro. Produksi yang hanya
terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu tertentu menyebabkan
terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi dan pada
masa-masa panen. Pola konsumsi yang
relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah mengakibatkan
adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga, mekanisme
mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga sangat terkait dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Sehingga,
meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi
sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak
bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu
timbulnya kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal.
Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi
energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal.
Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda. Berdasarkan data
SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map
of Indonesia 2006, proporsi penduduk rawan pangan di semua propinsi masih
di atas 10% kecuali di propinsi Sumbar, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme
pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan
dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah
tangga.
terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu tertentu menyebabkan
terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi dan pada
masa-masa panen. Pola konsumsi yang
relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah mengakibatkan
adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga, mekanisme
mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga sangat terkait dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Sehingga,
meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi
sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak
bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu
timbulnya kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal.
Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi
energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal.
Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda. Berdasarkan data
SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map
of Indonesia 2006, proporsi penduduk rawan pangan di semua propinsi masih
di atas 10% kecuali di propinsi Sumbar, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme
pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan
dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah
tangga.
Penyebab Rawan Pangan
Kerawanan terjadi mana kala rumah tangga, masyarakat atau
daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standart
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggota. Ada
tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu :
a. Kemampuan penyediaan pangan kepada
individu/rumah;
b. Kemampuan individu / rumah tangga untuk
mendapatkan dan pangan;
c. Proses distribusi dan pertukaran pangan
yang tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga.
Ketiga hal
tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara
stimultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang
musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu
atau dua faktor saja yang sifatnya tidak permanen. Permasalahan
rawan pangan yang muncul bukan persoalan produksi pangan semata. Kerawanan
pangan merupakan masalah multidimensional, bukan hanya urusan produksi saja.
Dari berbagai indikator itu, maka kerawanan pangan mencakup masalah pendidikan,
tenaga kerja, kesehatan, kebutuhan dan prasarana fisik. Kerawanan pangan di Indonesia
diakui masih mengakibatkan impor pangan semakin meningkat.
Kondisi Rawan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga dapat
dikategorikan tingkat empat, yaitu :
a. Tidak
rawan pangan (food secure);
b. Rawan
pangan tanpa terjadi kelaparan (food insecure without hunger);
c. Rawan
pangan dan terjadi kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger
moderate);
d. Rawan
pangan dan terjadi kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger severe)
Indikator Rawan Pangan
Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha
individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan (Sapuan, 2001).
a. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan
gejala kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu :
1. Terjadinya
eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;
2. Terjadi bencana alam berupa
kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya;
3. Terjadi
kegagalan tanaman pangan makanan pokok; dan
4. Terjadinya
penurunan persediaan bahan pangan setempat.
b. Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait
akibat rawan pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;
1. Bentuk
tubuh individu kurus;
2. Ada penderita kurang
kalori protein (KKP) atau kurang makanan (KM);
3. Terjadinya
peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan Puskesmas;
4. Peningkatan
kematian bayi dan balita; dan
5. Peningkatan
angka kelahiran dengan angka berat badan dibawah standar
c. Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan
masalah sosial ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk mengatasi
masalah rawan pangan yang meliputi;
1. Bahan
pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang sudah mulai makan
sebagian masyarakat;
2. Peningkatan
jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;
3. Peningkatan
penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya);
4. Meningkatkan
kriminalitas.
Indikator yang digunakan untuk menilai adanya masalah
rawan pangan di daerah pedesaan dengan tipe masyarakat agraris seharusnya
dibedakan dengan faktor yang digunakan untuk daerah perkotaan. Indikator yang
digunakan dalam Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) oleh Departement
Kesehatan terdiri dari 3 (tiga) variabel yaitu presentase penduduk miskin,
presentase balita gizi buruk dan luas kerusakan tanaman pangan (Depkes RI,
1999). Indikator ini lebih tepat jika ditempatkan untuk daerah agraris. Untuk
daerah perkotaan perlu indikator lain yang lebih peka.
Upaya
Penanggulangan Rawan Pangan
Akhir-akhir
ini masalah busung lapar melanda anak-anak di bawah usia lima
tahun (balita) di beberapa propinsi di Indonesia. Salah satu harian
nasional (pada tanggal 28 Mei 2005) memperkirakan 8 persen balita Indonesia
menderita masalah tersebut. Jika angka ini benar, artinya terdapat sekitar 1,7
juta balita yang menderita kasus busung lapar. Suatu jumlah yang besar, yang
seyogianya tidak dipandang sebagai masalah jangka pendek semata. Satu generasi
ke depan, masalah tersebut dapat berubah bentuk menjadi masalah lainnya, yaitu
angkatan kerja yang brainless atau tidak pintar, yang berjumlah sekitar satu
juta orang (bila 60 persen di antara penderita busung lapar tersebut survive
hingga menjadi angkatan kerja). Tentunya hal ini dapat memberikan dampak
negatif terhadap perekonomian lokal, di tempat-tempat terjadinya masalah busung
lapar dan gizi buruk tersebut. Singkat kata, masalah tersebut adalah masalah
kritikal yang harus ditangani secara serius.
Sesungguhnya busung lapar, sebagai salah satu perwujudan ‘rawan pangan’, bukanlah masalah baru. Masalah ini sering berulang, terutama pada saat-saat gagal panen yang sering disebabkan oleh kekeringan, di daerah-daerah yang tergolong miskin. Pertanyaannya ialah mengapa masalah itu terjadi sampai berulang-ulang? Tidak dapatkah kita mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang lalu? Jika dapat, sudah benarkah pemahaman kita terhadap pelajaran tersebut? Atau sederhananya, sudah cukup seriuskah kita menangani masalah tersebut?
Artikel ini
tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, melainkan menekankan pada
beberapa aspek yang penulis pandang penting diperhatikan (lagi). Pertama,
masalah rawan pangan—apalagi gizi buruk dan busung lapar—hendaknya tidak
dilihat sebagai persoalan kekurang-tersediaan pangan semata. Secara makro pada
tataran nasional, ketersediaan pangan enerji mencapai 3098 kkal/kapita/hari dan
ketersediaan pangan protein 74,5 gram/kapita/hari untuk kondisi tahun 2003.
Angka-angka ini melampaui tingkat rekomendasi yang masing-masing sebesar 2550
kkal/kapita/hari dan 55 gram/kapita/hari. Jika dipersempit kepada beras, sejak
tahun 2000 produksi beras Indonesia
telah melebihi konsumsi beras nasional. Pada tahun 2000an, di tingkat nasional,
produksi beras berkisar antara 32 hingga 33 juta ton, sedangkan konsumsinya 30
hingga 31 juta ton. Dengan demikian, bila pada tataran mikro ada rakyat yang
busung lapar atau kekurangan pangan, tentu lebih disebabkan oleh masalah
distribusi bahan pangan tersebut serta dayabeli rakyat tersebut yang rendah.
Tentunya ini
tidak berarti bahwa upaya peningkatan produksi beras menjadi tidak penting.
Peningkatan produksi beras, yang akhir-akhir ini cenderung stagnant, tetap
penting. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen pertahun, dan
masih tingginya tingkat konsumsi beras perkapita serta belum terdiversifikasi
secara memadainya konsumsi pangan, produksi gabah dan beras masih perlu
ditingkatkan. Mencermati Gambar 1, areal panen akhir-akhir ini sebenarnya
cenderung meningkat, namun yield atau produktivitas gabah per hektar cenderung
menurun. Produksi beras diperkirakan akan meningkat jika yield tersebut dapat
ditingkatkan, katakanlah mencapai 4,8-5,0 ton gabah/hektar. Ini dapat dicapai
bila faktor-faktor produksi komersial, terutama pupuk, digunakan pada tingkatan
yang optimal, yang pada gilirannya tentunya membutuhkan air irigasi.
Pengembangan irigasi skala kecil, semisal irigasi pompa, diperkirakan akan
cukup membantu. Irigasi semacam ini hanya membutuhkan teknologi sederhana,
sehingga pembuatan dan pemeliharaannya dapat dilakukan oleh industri
kecil-menengah di kawasan perdesaan. Ini dapat menambah kegiatan off farm
rakyat pedesaan.
Akses Masyarakat
terhadap Bahan Pangan
Akses masyarakat
terhadap bahan pangan setidaknya sama pentingnya dengan ketersediaan bahan
pangan itu sendiri. Katakanlah produksi beras dapat ditingkatkan secara
signifikan, tidak ada jaminan bahwa seluruh lapisan masyarakat mampu mengakses
bahan pangan tersebut secara memadai. Salah satu komponen penting dari akses
ini adalah jaringan distribusi bahan pangan. Kelancaran distribusi pangan
bergantung pada kecukupan prasarana dan sarana transportasi yang diperlukan,
pergudangan, serta pasar dalam arti market place. Dari komponen ini kiranya
tidak sulit untuk memprakirakan bahwa daerah atau kawasan dengan prasarana dan
sarana minim cenderung memiliki peluang (probability) terkena busung lapar atau
setidaknya rawan pangan yang lebih besar dibandingkan kawasan dengan prasarana
dan sarana yang memadai. Perhatian secara khusus hendaknya diberikan kepada
kawasan seperti itu.
Terlepas dari
bentuk kelembagaannya yang telah menjadi Perum, Bulog pada dasarnya masih
potensial digunakan untuk memperlancar distribusi bahan pangan terutama beras.
Prasarana yang dimiliki lembaga ini, misalnya gudang, dan pengalaman operasinya
selama ini tentu merupakan aset penting untuk membantu kelancaran distribusi
bahan pangan ke berbagai kawasan. Dengan pengawasan yang lebih efektif, antara
lain yaitu yang dilakukan sendiri oleh masyarakat, diharapkan program seperti
raskin (beras untuk orang miskin) dapat dilaksanakan secara lebih efisien
(bebas ‘kebocoran’), tepat jumlah, tepat sasaran (tidak hanya untuk urban poor
namun juga untuk orang miskin di kawasan pedesaan), dan tepat waktu. Perlu
digarisbawahi bahwa ketiga hal terakhir sangat membutuhkan koordinasi lintas
instansi.
Walaupun
jaringan distribusi cukup memadai, bahan pangan yang tersedia tidak akan dapat
diakses jika rakyat tidak memiliki dayabeli. Bagi masyarakat yang tergolong
poorest of the poor, Rp 1000 per kilogram raskin pun seringkali tidak
terjangkau. Padahal bagi kelompok masyarakat ini, beras merupakan komponen
utama dalam konsumsinya. Terlihat pada Gambar 2 bahwa bagi kelompok rumahtangga
dengan pendapatan 20 persen terendah (quintile pertama, Q1), rata-rata
pengeluaran atau konsumsinya terhadap beras mencapai pangsa 22 persen dari
total pengeluaran rumahtangganya. Pangsa tersebut bagi kelompok yang sama di
kawasan pedesaan bahkan mencapai 27 persen. Sementara itu, bagi kelompok
rumahtangga berpendapatan 20 persen tertinggi (Q5), secara rata-rata
pengeluarannya untuk beras hanyalah 6 persen dari total pengeluaran. Dengan
kata lain, ‘peranan’ beras dalam konsumsi kelompok masyarakat termiskin secara
rata-rata sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok terkaya.
Berkurangnya
konsumsi beras kelompok rumah tangga termiskin akan berpengaruh signifikan pada
tingkat kesejahteraan mereka, yang biasanya diukur dengan besaran pengeluaran
rumahtangga. Agar ini tidak terjadi, pendapatan riil (yaitu pendapatan nominal
dibagi dengan tingkat harga umum) dari kelompok rumahtangga ini haruslah
ditingkatkan. Yang terjadi akhir-akhir ini ialah laju inflasi cenderung makin
tinggi, sehingga jika kelompok rumahtangga tersebut memiliki pendapatan nominal
yang tetap—kalau tidak menurun, berarti pendapatan riil mereka mengalami
penurunan. Akibatnya, konsumsi mereka terhadap beras (dan kemungkinan juga
terhadap berbagai komoditas lain) mengalami penurunan. Perlu diteliti secara
cermat, seberapa besarkah kontribusi dayabeli masyarakat, akses terhadap pangan
ditilik dari sudut pandang jaringan distribusinya, ketersediaan bahan pangan
dan faktor-faktor lainnya (seperti tingkat pengetahuan ibu rumahtangga tentang
gizi dan kesehatan) terhadap terjadinya busung lapar dan gizi buruk.
Diversifikasi
konsumsi perlu didorong lebih lanjut. Tingginya ketergantungan rumahtangga
dalam hal konsumsi terhadap beras secara perlahan-lahan perlu dikurangi
mengingat kecenderungan stagnasi produksi beras dan penurunan yield usahatani
padi. Data Susenas BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata pangsa
pengeluaran rumahtangga terhadap pangan serealia selain beras hanya sekitar 0,5
persen dari total pengeluaran rumah tangga. Di kawasan pedesaan, pangsa ini
sebesar 0,8 persen, sedangkan di kawasan perkotaan hanya 0,3 persen. Upaya
untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi tentunya membutuhkan ‘pendidikan
masal’, yang antara lain dapat ditempuh dengan pendidikan dari sejak sekolah dasar
hingga kampanye terhadap konsumsi pangan pokok alternatif.
Peta Kerawanan Pangan Kecamatan
Badan Ketahana
Pangan Propinsi Jawa Timur telah melakukan pemetaan kerawanan pangan tingkat
kecamatan di seluruh Kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2006. Pemetaan
kerawanan pangan tersebut menggunakan indikator FIA (Food Security Atlas).
Menurut FIA, Indikator Ketahanan Pangan terdiri dari:
1.
Ketersediaan
Pangan
2.
Akses
Pangan
3.
Kesehatan
dan Gizi
4.
Kerawanan
Pangan
1.
KETERSEDIAAN PANGAN
Ketersediaan
pangan diperoleh dari produksi pangan serealia di suatu wilayah serta kondisi
netto ekspor dan impor yang diperoleh melalui berbagai jalur. Ketersediaan
Pangan menggunakan proporsi konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto padi
dan jagung yang layak dikonsumsi manusia.
2. AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENDAPATAN
Indikator-indikator yang termasuk ke dalam kelompok ini
adalah:
a. Persentase
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (data estimasi dari BPS)
b. Persentase kepala rumah tangga yang
bekerja kurang dari 15 jam per minggu
c. Persentase
kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar
d. Persentase
rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik
e. Panjang
jalan per kilometer persegi
3.
PEMANFAATAN/PENYERAPAN PANGAN
Pemanfaatan/penyerapan
pangan meliputi infrastruktur kesehatan dan akibat yang ditimbulkan (outcome)
dilihat dari aspek nutrisi dan kesehatan. Selain ke dua indikator ini, data
Perempuan Buta Huruf dimasukkan di sini, yang secara global diakui sebagai
indikator yang menjelaskan proporsi yang signifikan dari tingkat malnutrisi
pada anak
1.
%
Rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
2.
Populasi
per dokter yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk
3.
% Anak yang tidak diimunisasi secara lengkap (4 jenis
imunisasi
4.
%
Rumah tangga tanpa akses ke air bersih
5.
Angka
harapan hidup waktu lahir
6.
%
Anak dengan berat badan di bawah standar
7.
Tingkat
kematian Bayi (IMR)
8.
%
Perempuan buta huruf
4.
KERENTANAN PANGAN
Dimensi ini
mencerminkan kondisi rawan pangan sementara (transient) dan resiko yang
disebabkan oleh faktor lingkungan, yang mengancam kelangsungan kondisi tahan
pangan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Indikator yang
digunakan adalah fluktuasi curah hujan, persentase penutupan hutan terhadap
luas total wilayah, persentase lahan yang rusak terhadap luas total wilayah,
dan persentase luas panen tanaman padi yang rusak akibat kekeringan, banjir,
longsor dan hama
(daerah puso).
1.
Persentase
daerah hutan (PDH)
2.
Persentase
daerah puso (PDP)
3.
Daerah
rawan longsor & banjir (DLB)
4.
Penyimpangan
curah hujan (DCH)
KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN
SEMENTARA
Kerentanan terhadap
bencana alam dan gangguan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan
suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang.
Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal
sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity).
Bencana alam atau teknologi
yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga
atau goncangan terhadap pasar, epidemic penyakit, konflik sosial dapat
menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara
dapat berpengaruh terhadap sebagian atau semua dimensi ketahanan pangan seperti
ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan.
Kerawanan pangan sementara
dapat juga dibagi menjadi dua sub-kategori: menurut siklus, di mana terdapat
suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya, "musim
paceklik" yang terjadi dalam periode sebelum panen, dan sementara, yang
merupakan hasil dari suatu gangguan mendadak dari luar pada jangka pendek
seperti kekeringan atau banjir.
Konflik sipil juga
termasuk dalam kategori goncangan sementara walaupun dampak negatifnya terhadap
ketahanan pangan yang disebabkan oleh konflik dapat berlanjut untuk jangka
waktu yang lama. Dengan kata lain, kerawanan pangan sementara dapat
mempengaruhi orang-orang yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga
orang-orang yang terjamin pangannya pada keadaan normal.
Faktor lingkungan dan
kemampuan masyarakat untuk mengatasi goncangan sangat menentukan apakah suatu
negara atau wilayah dapat mempertahankan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Tinjauan ketahanan pangan dan gizi dari sudut pandang lingkungan hidup meliputi
perhatian terhadap pengelolaan tanah, konservasi dan pengelolaan air,
konservasi anekaragam hayati, peningkatan teknologi pra-panen, pelestarian
lingkungan hidup dan pengelolaan hutan.
Deforestasi hutan melalui
eksploitasi sumber daya alam, fluktuasi curah hujan, persentase daerah
"puso"dan persentase daerah yang terkena banjir dan tanah longsor,
merupakan beberapa indikator yang digunakan dalam bab ini untuk menjelaskan
kerawanan pangan sementara di Indonesia.
KREDIT
KETAHANAN PANGAN: Alternatif Mengatasi Rawan Pangan
Pangan
merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan
hidup dan kehidupan. Pembangunan ketahanan pangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7
tahun 1996 tentang Pangan,
bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam
jumlah yang cukup, mutu, dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta
terjangkau oleh setiap individu.
Istilah “ketahanan pangan” (food
security) oleh Irawan (2001), didefinisikan sebagai akses dari semua
penduduk di suatu negara/wilayah untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasar makanan
yang cukup, yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak (aktif dan sehat).
Dalam hal ini, elemen terpenting dari ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan dan
kemampuan untuk memperoleh kebutuhan makanan yang paling esensi.
Sebaliknya “kerawanan pangan” (food
insecurity) diartikan sebagai kurangnya akses untuk kebutuhan makanan yang memadai.
Secara konseptual, terdapat dua jenis kerawanan pangan, yaitu kronis dan sementara (chronic
and transitory food insecurity) (Irawan, 2001). Kerawanan pangan kronik (Chronic Food
Insecurity) merupakan situasi ketika sekelompok penduduk mengalami ketidakmampuan
atas kebutuhan dasar gizi (minimum dietary needs) secara terus menerus
yang umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pokok makanan.
Insiden kerawanan
pangan kronis
ini mempengaruhi rumah tangga-rumah tangga yang secara “konsisten” mempengaruhi
kemampuan yang sangat terbatas baik untuk membeli kebutuhan pangan yang cukup
maupun untuk memproduksinya sendiri. Sementara itu, kerawanan pangan sementara (Transitory Food
Insecurity) merupakan penurunan atau gangguan yang mendadak – namun
bersifat sementara – pada akses penduduk/rumah tangga-rumah tangga terhadap
kebutuhan pangan
yang cukup. Situasi seperti ini biasanya berkaitan dengan komoditi makanan
pokok, produksi pangan
dan rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga. Dalam kondisi yang terburuk kerawanan pangan bisa
menjurus ke bencana kelaparan.
Pada umumnya peristiwa kerawanan pangan ini dialami
oleh para penduduk yang bertempat tinggal pada daerah-daerah kering atau daerah
yang miskin sumberdaya alam, daerah dengan iklim yang cenderung memberikan
batasan bagi perkembangan sektor pertaniannya.
Daerah dengan iklim
seperti ini dapat ditemukan di Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur,
sehingga pola ketahanan pangan masyarakat di Kabupaten Kupang disesuaikan dengan kondisi
alam yang ada baik itu iklim, topografi maupun kondisi tanahnya.
Secara umum Kabupaten
Kupang tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering) yang menyebabkan vegetasi
yang tumbuh di Kabupaten Kupang relatif terbatas sehingga memunculkan ekosistem
yang unik serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan
kering.
Kondisi ekosistem ini pula
menyebabkan Kabupaten Kupang memiliki pola ketahanan pangan yang unik, sebagai bentuk
adaptasi penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan
pembatas bagi usaha-usaha pertaniannya.
Menurut Adiyoga dan Erni
(2003), dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat di Kabupaten Kupang
memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan, yaitu :
1. Usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Produksi
usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada
dasarnya pola hidup masyarakatnya berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari
dan tidak berorientasi pada pasar).
2. Bila penyangga pertama runtuh (seperti karena ada paceklik) maka mereka
masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan
kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.
3. Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka masyarakat masih memiliki
peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi
hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan berwarna hitam, talas liar, dan
lain-lain.
Terlepas dari pola ketahanan pangan tradisional masyarakat, salah satu kecamatan di Kabupaten
Kupang yang ditetapkan sebagai sentra produksi padi bagi masyarakatnya, selain Kecamatan
Kupang Tengah, yaitu Kecamatan Kupang Timur. Selain padi sawah, Kecamatan Kupang
Timur juga memproduksi padi ladang, komoditas yang tidak terdapat di Kecamatan Kupang
Tengah. Namun kedua kecamatan ini juga memproduksi ubi kayu sebagai komoditas unggulan
lainnya.
Di sisi lain, menurut data ketahanan pangan Dinas Pertanian 2005, perkembangan
dari sektor pertanian untuk komoditas padi di Kecamatan Kupang Timur mengalami
penurunan produktivitas, khususnya dari musim tanam 2003/2004 ke 2004/2005
sebesar 54,67 % sehingga daerah ini termasuk dalam kategori resiko tinggi dalam
urusan pangan1. Kondisi tersebut sangat dilematis, di satu sisi kecamatan ini
sebagai sentra produksi padi, sementara itu di sisi lain termasuk daerah yang
beresiko tinggi dalam urusan pangan.
Resiko tinggi yang dimaksud adalah apabila total skor yang diperoleh dari
skor luas tanam, luas puso, luas panen, dan produktivitas berkisar antara
13-16, sedangkan untuk resiko sedang dan resiko rendah masing- masing berkisar
antara 9-12 dan kurang dari 9 (< 9).
Dalam upaya mengembangkan
usaha tani masyarakat, modal menjadi salah satu elemen penting untuk
diperhatikan. Modal yang dapat dijadikan pembiayaan usaha tani ini
dapat diperoleh dari berbagai program kredit pertanian. Selama ini, program
kredit usaha tani, khususnya padi dan palawija, telah mengalami beberapa kali
perubahan kebijakan. Setelah terjadinya tunggakan yang tinggi pada kredit
Bimas/Inmas akibat puso pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, pada tahun 1985
pemerintah mengeluarkan program Kredit Usaha Tani (KUT) yang menggunakan
pendekatan kelompok. Seperti halnya kredit Bimas/Inmas, KUT pun mengalami
kemacetan dengan total tunggakan sekitar 23 % dari realisasi kredit Rp 1,184
triliun yang disalurkan hingga musim tanam 1997/1998. Meskipun demikian, sejak
tahun 1998 pemerintah mengubah KUT dengan sistem baru dan plafon ditingkatkan
secara drastis, yaitu lebih dari 13 kali lipat menjadi Rp 8,4 triliun. Bank tidak lagi menjadi executing
agent tetapi hanya sebagai channeling agent. Fungsi executing
agent digantikan oleh Departemen Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil dan
Menengah) yang melibatkan koperasi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam
pelaksanaannya.
PENANGANAN DAERAH
RAWAN PANGAN
Rawan pangan adalah
kondisi suatu wilayah/daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tidak menpunyai
akses secara fisik (ketersediaan) dan ekonomi (daya beli) untuk memperoleh
pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, beragam dan aman untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan.
Mengacu kepada konsep
ketahanan pangan dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan yaitu :
a. Tidak
adanya kasus secara fisik maupun ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup.
b. Tidak
terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, beragam, aman dan terjangkau.
c. Tidak
tercukupnya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga.
Rawan pangan terdiri dari :
Rawan pangan Kronis
Suatu keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu,
disebabkan karena keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan keterbatasan
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengakses pangan dan gizi.
Rawan Pangan Transien
Suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang
disebabkan oleh kejadian berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya,
seperti: bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tsunami) dan
konflik sosial.
Komentar
Posting Komentar